بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Berderma dalam bahasa syariat memiliki 3 kosa kata yaitu Shodaqoh,
Infak, dan Zakat. Bagian terluas adalah shodaqoh yang dapat bersifat material
dan non material. Shodaqoh yang bersifat non materi contohnya adalah senyum
kepada sesame, kalimat-kalimat thoyyibah seperti tasbih, tahmid dan tahlil,
menyingkirkan duri dari jalanan, dan lain sebagainya. Berikutnya adalah
shodaqoh material, shodaqoh material inilah yang dinamakan dengan infak, infak
karakteristiknya bebas diberikan kepada siapapun dalam bentuk uang atau barang,
dan infak yang diwajibkan inilah yang dinamakan dengan zakat. Zakat diatur
kadarnya, nishabnya, orang-orang yang berhak menerimanya dan lain sebagainya. Dalam
tulisan ini, saya belum akan membahas aspek teknis dalam berzakat namun pada
kesempatan kali ini saya akan membahas dari sisi filosofis dan hikmah yang
terkandung dalam pensyariatan zakat ini.
Zakat merupakan salah satu ibadah mahdhah,
rukun Islam yang berdimensi sosial sekaligus sebagai sarana distribusi
pendapatan. Dalam Al Quran, kewajiban membayar zakat seringkali disebutkan
beriringan dengan kewajiban mendirikan shalat, salah satunya dalam QS. Al
Baqarah [2]: 43 berikut:
Demikian pentingnya kewajiban membayar zakat, sehingga perintah membayar
zakat disandingkan dengan perintah mendirikan shalat sebanyak 27 kali
disebutkan beriringan. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa shalat kita yang
berdimensi hablumminallah belum
sempurna apabila kita tidak menjalankan kewajiban hablumminannaas, kesalihan pribadi kita belum sempurna tanpa adanya
kesalihan sosial yang salah satunya direpresentasikan dengan membayar zakat. Shalat
dipandang sebagai seutama-utamanya ibadah badaniah
sedangkan zakat dipandang sebagai seutama-utamanya ibadah maliyah.
Zakat juga merupakan salah satu instrumen yang Allah gunakan sebagai
instrumen kontradiktif dari sistem ribawi (QS. Ar-Ruum [30]: 39). Dalam ayat
tersebut Allah menjelaskan bahwa sejatinya harta riba yang diperoleh memang
secara kasat mata bertambah, namun justru pertambahan karena riba tersebut
tidaklah menambah sedikitpun disisi Allah. Sebaliknya, zakat yang kita bayarkan
dengan mengharapkan keridhoan Allah yang secara kasat mata berkurang, tetapi
justru zakat inilah yang akan bertambah di sisi Allah dan dilipatgandakan
pahalanya.
Zakat merupakan pranata agama Islam yang bertujuan untuk meningkatkan
keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Secara ekonomi, potensi zakat global di
seluruh negara-negara Islam menurut studi Monzer Kahf dalam Beik dan Dwi (2015)
mencapai sekitar 1,8% sampai dengan 4,34% dari total PDB masing-masing negara.
Jika dihitung dengan total PDB yang ada, maka potensi zakat di negara-negara
Islam mencapai angka tidak kurang dari USD 600 miliar setiap tahun, atau setara
dengan sekitar Rp8.400 triliun dengan asumsi kurs Rp14.000,- per USD. Sedangkan
untuk potensi zakat nasional, mununjukkan angka sekitar Rp217 triliun. Zakat
ini berasal dari 3 komponen utama yaitu, zakat perusahaan sebesar Rp116,4
triliun atau 54,06%, zakat rumah tangga sebesar Rp82,7 triliun atau 38,11% dan
terakhir adalah zakat tabungan investasi sebesar Rp17,0 triliun atau 7,83%.
Pengumpulan zakat akan optimal apabila setiap muslim memahami secara
mendalam filosofi dan hikmah yang terkandung didalamnya. Pertama, zakat merupakan representasi dari ketakwaan seorang muslim
sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran [3]: 133-134. Dalam ayat tersebut
Allah menjelaskan ciri-ciri orang yang bertakwa adalah orang yang mau
menginfakkan sebagian dari hartanya baik dalam keadaan lapang (berkecukupan)
ataupun keadaan sempit (kekurangan). Pendekatan
berderma yang selama ini selalu digembar-gemborkan kepada masyarakat selalu
disangkut pautkan dengan kekayaan. “jika ingin kaya, berdermalah” atau
doktrin-doktrin lainnya yang intinya mengaitkan berderma dengan materi. Menurut
saya, hal ini kurang tepat karena ada satu step yang terlompati sehingga
sistematika berpikir kita menjadi rancu.
Hal yang tepat adalah berderma itu berkaitan dengan
ketakwaan, mengapa demikian ? Karena menurut firman Allah pada surat (QS. Ali Imran [3] : 133-134) ketika Allah
menjelaskan ciri-ciri orang yang bertakwa, salah satu ciri-ciri mereka adalah mereka
yang mau berderma dari sebagian hartanya baik dalam keadaan berkecukupan
ataupun kekurangan. Pada ayat yang lain pun bermakna serupa, ketika Allah
menjelaskan ciri-ciri orang yang bertakwa, Allah juga menyebutkan mereka yang
mau menginfakkan sebagian hartanya adalah termasuk orang yang bertakwa (QS.
Al-Baqoroh [2] : 3)
Jadi seharusnya motivasi utama kita dalam berderma adalah untuk menjadi
orang yang bertakwa bukan jadi orang yang banyak harta. Karena harta adalah
salah satu alat yang Allah berikan kepada hamba-Nya untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Harta adalah salah satu jalan keluar dari salah satu urusan dunia
mengenai persoalan finansial, namun permasalahannya adalah persoalan kita di
dunia ini bukan hanya persoalan finansial semata. Bukankah Allah telah menjamin
bahwa barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan berikan baginya
jalan keluar dari berbagai masalah yang dihadapinya dan memberikannya rezeki
dari arah yang tak terduga (QS. Ath-Tholaq [65]
: 2-3). Permasalahan finansial adalah salah satu dari berbagai permasalahan
kita di dunia,
Dari gambar diatas yang saya buat, dapat kita pahami sekaligus kita benahi
sistematika berpikir dalam berderma. Bahwa berderma bukan langsung melompat
kepada kaya harta, karena kaya hanyalah salah satu alat saja. Tapi ada hal yang
lebih esensial yang harus kita kejar dalam berderma yaitu ketakwaan dan
kedekatan kepada Allah (taqorrub ilallah) Berderma melalui zakat
merupakan salah satu upaya untuk menjadikan kita manusia yang bertakwa kepada
Allah. Dan salah satu janji Allah bagi orang yang bertakwa adalah Allah akan
memberikannya solusi dari segala permasalahan yang kita hadapi dan memberinya
rezeki dari arah yang tak diduga (QS. Ath-Thalaaq [65]: 2-3).
Kedua, zakat mampu mendorong produktivitas.
Islam mendorong umatnya supaya mampu bekerja secara profesional dalam bidangnya
sehingga memiliki harta kekayaan yang tidak hanya mencukupi kebutuhan dirinya
dan keluarganya, tetapi juga memiliki manfaat untuk membantu mencukupi
kebutuhan saudaranya sesama muslim. Dengan demikian, zakat menumbuhkan semangat
dan etos kerja yang tinggi dalam diri para muzakki dimana dampak lain dari etos
kerja yang baik ini akan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat luas bagi
kebaikan sesama. Diharapkan dengan optimalisasi pengumpulan dana zakat, akan
menstimulus pendayagunaan dan penyaluran zakat yang lebih optimal sehingga
perputaran harta tidak berkisar diantara kelompok-kelompok tertentu saja (QS. Al
Hasyr [59]: 7).
Ketiga, zakat merupakan pilar amal bersama (jama’i) dan penghubung antara
orang-orang kaya yang relatif berkecukupan hidupnya dengan orang-orang miskin
yang kurang beruntung. Dana zakat berfungsi untuk menolong dan membina
orang-orang fakir miskin ke arah kehidupan yang lebih sejahtera sehingga mereka
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Kewajiban beribadah kepada Allah pun
akan terlaksana dengan fokus dan lebih baik sehingga akidah menjadi lebih
mantap, dapat terhindar dari bahaya kekufuran karena kefakiran membawanya dekat
kepada kekufuran.
Berzakat merupakan bagian dari berderma dengan menggunakan harta, dimana
salah satu kecintaan manusia di dunia ini adalah kecintaan terhadap harta (QS. Ali
Imran [3]: 14). Untuk mencegah sifat kikir, tamak, dan kecintaan berlebihan
terhadap harta duniawi, maka dalam ayat di atas Allah memerintahkan manusia
berzakat yang salah satu tujuannya adalah membersihkan manusia dari sifat
hedonisme dan individualisme. Sehingga dalam ruang lingkup masyarakat yang lebih
makro, keadilan sosial dapat terwujud karena kesenjangan yang ada dalam
masyarakat merupakan ketimpangan yang terjadi secara alamiah karena perbedaan
kemampuan yang Allah takdirkan, bukan hasil sistem ekonomi kapitalis saat ini
yang didasari oleh kerakusan dan kecintaan berlebihan manusia terhadap dunia.
Selain itu, pengumpulan zakat juga seharusnya bersifat otoritatif, bukan
hanya bersifat karitatif (sukarela) semata. Harus ada punishment bagi orang-orang mampu yang enggan membayar zakat. Hal
ini sebagaimana pernah terjadi di masa kekhalifahan Abu Bakr as-Shidiq, beliau
dengan tegas memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat. Artinya,
pemerintah harus turun tangan dalam keberhasilan pengumpulan zakat, UU nasional
sendiri yang mengatur mengenai zakat terdapat dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 menggantikan
UU sebelumnya yaitu Nomor 38 Tahun 1999. tetapi sayangnya undang-undang
tersebut belum mengatur punishment
terhadap para “pengemplang” zakat sebagaimana diaturnya punishment para pengemplang pajak.
Namun terlepas dari kekurangan-kekurangan yang ada, kita juga harus
bersyukur karena lembaga resmi pemerintah yaitu BAZNAS telah dibentuk sebagai
pengakuan dari pemerintah atas eksistensi zakat dalam pembangunan nasional.Dalam
rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara
melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian
hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas
dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat. Hal tersebutlah yang
melatarbelakangi terbitnya Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat,
Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir data jumlah penduduk
miskin di Indonesia per September 2014 adalah sebanyak 27,73 juta jiwa atau
10,96% dari total penduduk Indonesia. Jumlah salah satu golongan (ashnaf) mustahik zakat ini memang
relatif banyak dan perlu dipikirkan bersama penanganannya agar tidak menjadi
permasalahan sosial yang berkepanjangan. Untuk itu, zakat dapat dijadikan
sebagai salah satu alternatif solusi untuk pengentasan kemiskinan. Sebagai contoh, Beik (2013) dalam penelitiannya
menyimpulkan bahwa zakat mampu menaikkan pendapatan rumah tangga mustahik
sebesar 8,94%. Daya beli rumah tangga mustahik juga mengalami kenaikan sebesar
1,9%. Jumlah kemiskinan mustahik dapat dikurangi sebesar 21,11%, berikutnya
dari sisi time taken to exit poverty program-program zakat mampu
mempercepat upaya pengentasan kemiskinan mustahik dari 7 tahun menjadi 5 tahun.
Hal ini membuktikan bahwa zakat mampu menjadi solusi pengentasan kemiskinan
sekaligus membuktikan bahwa pengumpulan dan penyaluran zakat sebaiknya
dilakukan oleh suatu lembaga resmi BAZ (Badan Amil Zakat) atau LAZ (Lembaga
Amil Zakat) sehingga manfaatnya lebih terasa bagi para mustahik.
Oleh karena itu, pembayaran zakat secara langsung dari
muzakki kepada para mustahik tidaklah tepat dan hal tersebut tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah. Karena ketika kewajiban zakat turun, Rasulullah
menugaskan sekitar 25 orang sahabat sebagai amil pengumpul zakat yang mengambil
zakat dari para muzakki di seluruh daerah kekuasaan Islam ketika itu dan
dikelola serta disalurkan oleh Negara kerpada para mustahik. Hikmah dari hal
tersebut selain manfaat zakat akan lebih terasa adalah untuk menjaga kehormatan
para mustahik dan menjaga keikhlasan para muzakki dalam berzakat.
Saya juga bermaksud menghimbau kepada para pembaca yang
baik, salurkanlah zakat Anda kepada lembaga resmi baik BAZ atau LAZ, dimana
penyaluran Anda akan membantu mencapai optimalisasi pengumpulan zakat secara
kuantitas, sekaligus dapat menjamin program-program penyaluran zakat kepada
mustahik yang telah dibuat lembaga-lembaga tersebut lebih simultan, lebih terasa
manfaatnya, dan diharapkan dapat mengubah status para mustahik menjadi muzakki. Mudah-mudahan kita mampu belajar istiqomah menjadikan derma sebagai
salah satu gaya hidup kita dan semoga berderma mampu menjadi salah satu
transportasi kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Wallahu ‘Alam bish Showab
Semoga bermanfaat
Hendri Wijaya
Bachelor of Islamic Economics from Faculty of Sharia and Law (muamalat.fsh.uinjkt.ac.id)
Graduate Student of Master Program in Sharia Management
Tidak ada komentar:
Posting Komentar