بسم الله الر حمن الر حيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Hendri Wijaya
Graduate Student of Master Program in Sharia Management
Bogor
Agricultural University (www.ipb.ac.id)
PERDAGANGAN BARANG DAN JASA SERTA UPAH
DALAM ISLAM
A. Pendahuluan
Islam sebagai agama yang sempurna dan universal
telah memberikan guidelines yang lengkap untuk mengatur seluruh
kegiatan manusia dalam rangka mencapai kesuksesan kehidupan dunia dan akhirat. Baik
dalam aspek hablumminallah hubungan vertikal dengan menjalankan
kewajiban ibadah dan menyembah Allah sebagai Tuhan seluruh alam, atau pun
hubungan hablumminannaas hubungan sosial antara manusia dengan manusia
lainnya, juga hubungan manusia dengan lingkungannya. Hal ini sering disebut
dengan aktifitas muamalah. Islam pun telah memberikan
ketentuan-ketentuan yang mengatur aktifitas muamalah manusia agar
kelangsungan hidup, keseimbangan, dan kelestarian alam tetap terjaga dengan
baik.
Manusia adalah khalifah Allah dimuka
bumi yang diberi kuasa oleh Allah untuk memakmurkan bumi-Nya. Dalam upaya
manusia memenuhi amanah-Nya sebagai khalifah di bumi ini, manusia
diberikan akal pikiran oleh Allah sebagai penunjang tugasnya di bumi. Manusia
dituntut untuk terus berpikir agar dapat memakmurkan bumi sesuai dengan
perkembangan zaman. Seiring dengan perkembangan zaman, aktifitas muamalah
pun menjadi semakin kompleks, khususnya dalam bidang ekonomi. Aktifitas ekonomi
tidak mungkin bisa lepas dari aktifitas jual beli atau perdagangan.
Perdagangan adalah proses tukar menukar
barang dan jasa berdasarkan kesepakatan bersama tanpa paksaan yang terjadi antara
dua orang atau lebih, dari tempat satu ke tempat lainnya karena adanya
kebutuhan atau perbedaan sumber daya yang dimiliki. Islam telah memberikan
ketentuan-ketentuan yang harus dilaksanakan ketika dalam perdagangan. Agar
perdagangan yang terjadi tidak merugikan pihak-pihak yang terkait didalamnya.
Pada umumnya, perdagangan saat ini dilakukan oleh individu, kelompok, ataupun
perusahaan. Perbedaannya tidak terlalu signifikan diantara ketiga pelaku
perdagangan tersebut, hanya saja pada perusahaan biasanya memiliki karyawan
yang harus dibayar atas jasanya bekerja bagi perusahaan tersebut. Seperti
halnya perdagangan, Islam juga telah memberikan ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan pemberian upah. InsyaAllah tulisan ini akan membahas konsep
perdagangan serta upah dalam Islam yang diturunkan dari Al-Quran dan Hadist.
B. Pembahasan
1) Perdagangan Rasulullah dan Anjuran Berdagang
Salah satu
aspek kehidupan Muhammad SAW yang kurang mendapat perhatian serius adalah
kepemimpinan beliau di bidang bisnis dan entrepreneurship. Muhammad SAW lebih
dikenal sebagai seorang rasul, pemimpin spiritual, dan pemimpin negara. Padahal
sebagian besar kehidupannya sebelum diangkat sebagai rasul adalah sebagai
pedagang. Beliau mulai merintis karir dagangnya sejak usia 12 tahun dan memulai
usahanya sendiri ketika berusia 17 tahun. Pekerjaan ini terus dilakukan sampai
menjelang beliau menerima wahyu (beliau berusia sekitar 37 tahun). Dengan
demikian, Muhammad SAW telah berprofesi sebagai pedagang selama sekitar ± 25
tahun ketika beliau menerima wahyu. Angka ini sedikit lebih lama dari masa
kerasulan beliau yang berlangsung selama ± 23 tahun. Dapat dikatakan bahwa
Muhammad SAW lebih lama menjalankan profesinya sebagai pedagang dibanding sebagai
rasul.
Periode
|
Usia
|
Durasi
|
Masa kanak-kanak
|
0-12 Tahun
|
12 Tahun
|
Entrepreneurship (berdagang)
|
12-37 Tahun
|
25 Tahun
|
Berkontemplasi
dan refleksi
|
37-40
Tahun
|
3 Tahun
|
Masa kerasulan
|
40-63 Tahun
|
23 Tahun
|
Tabel 1. Periode Entrepreneurship dan Masa Kerasulan
Pada usia 12
tahun, beliau ikut pamannya Abu Thalib ke Syria. Sejak itulah Muhammad SAW
melakukan semacam kerja magang (internship) yang berguna kelak ketika
beliau mengelola bisnisnya sendiri. Ketika merintis karirnya, Muhammad SAW muda
memulai dengan berdagang kecil-kecilan di kota Makkah. Beliau membeli
barang-barang dari satu pasar kemudian menjualnya kepada orang lain. Sampai
kemudian beliau menerima modal dari para investor dan juga para janda kaya dan
anak-anak yatim yang tidak sanggup menjalankan sendiri dana mereka, dan
menyambut baik seseorang yang jujur untuk menjalankan bisnis dengan uang yang
mereka miliki dengan sistem mudharabah (profit sharing) atau dengan
sistem (fee based) upah.
Dalam
menjalankan bisnisnya tersebut, beliau memperkaya diri dengan kejujuran,
keteguhan memegang janji, dan sifat-sifat mulia lainnya. Akibatnya masyarakat
Makkah mengenal beliau sebagai (al-amin) orang yang terpercaya. Para
pemilik modal di Makkah semakin banyak yang mengajak kemitraan dengan Muhammad
SAW tak terkecuali dengan Siti Khadijah, yang menawarkan kemitraan berdasarkan
sistem mudharabah (bagi hasil). Belakangan, Muhammad SAW menikah dengan
Siti Khadijah dan menjalankan bisnis bersama.
Setelah menikah
Muhammad SAW tetap menjalankan bisnisnya seperti biasa. Namun sekarang beliau
bertindak sebagai manajer sekaligus mitra dalam usaha istrinya. Beliau juga
sangat memahami perilaku-perilaku yang dapat merusak atau menghambat bisnis perdagangan yang dilakukan seseorang atau
merusak sistem pasar secara keseluruhan seperti kecurangan dalam timbangan, riba,
gharar, dan sebagainya.
Perjalanan
karir Muhammad SAW dapat dirumuskan sebagaimana berikut. Muhammad SAW pada usia
12 tahun sudah mengenal perdagangan dan di usia ini diistilahkan dengan (internship)
magang. Kemudian di usia 17 tahun beliau dianjurkan pamannya untuk
berdagang sendiri agar meringankan beban keluarga. Di usia ini beliau sudah
menjadi seorang business manager. Ketika para pemilik modal kota Makkah
mulai mempercayakan pengelolaan perdagangan mereka kepada Muhammad SAW beliau
menjadi seorang investment manager. Kemudian ketika menikah dengan
Khadijah, status beliau menjadi business owner, saat usia beliau menginjak
pertengahan 30-an, beliau menjadi seorang investor dan mulai banyak memiliki
waktu untuk memikirkan kondisi masyarakat. Pada saat inilah beliau sudah
mencapai financial freedom.
Kemudian
beliau mulai sering berkhalwat (menyendiri) di gua Hira untuk merenung
dan memikirkan kondisi masyarakat jahiliyah yang begitu tidak bermoral. Hal ini
terus beliau lakukan sampai kemudian beliau menerima wahyu pertama. Sejak saat
itulah beliau memulai babak baru dalam hidupnya sebagai seorang utusan Allah
SWT.
Usia
|
Status dan Aktifitas
|
63 Tahun
|
Memastikan ummat tidak merugi di dunia
dan akhirat akibat pola bisnis yang riba, haram, dan tidak bermoral
|
53 Tahun
|
Membangun pasar di Madinah
|
40 Tahun
|
Berdakwah meluruskan tatacara dan
moralitas bisnis ummat
|
37 Tahun
|
Peduli dengan masalah akhlak, sosial,
ekonomi masyarakat
|
25 Tahun
|
Menjadi business owner &
aliansi dengan investor
|
17 Tahun
|
Usaha mandiri sebagai manager/ agent
perdagangan regional
|
12 Tahun
|
Magang (internship)
|
Tabel 2. Jenjang Karir Muhammad SAW
Nabi Muhammad sebagai seorang praktisi perdagangan yang sukses
menganjurkan kita ummatnya untuk berwirausaha. Pada beberapa kesempatan Muhammad SAW
sering memotivasi para sahabatnya untuk berwirausaha, beliau bersabda:
“Berusaha untuk mendapatkan penghasilan
halal merupakan kewajiban, disamping sejumlah tugas lain yang telah
diwajibkan.” (HR. Baihaqi dan Thabrani)
“Pedagang yang jujur dan dapat dipercaya
akan bersama para nabi, orang-orang yang benar-benar tulus, dan para syuhada.”
(HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
“Allah memberikan rahmat-Nya kepada setiap
orang yang bersikap baik ketika menjual, membeli, dan membuat pernyataan.” (HR.
Bukhari)
Perdagangan
harus dikuasai oleh orang-orang mu’min sehingga praktik-praktik perdagangan
dapat terhindar dari riba dan cara haram lainnya yang dapat mendistorsi
keseluruhan sistem pasar dan menjaga keadilan dalam rangka menjamin perdagangan
yang sehat demi terciptanya perekonomian yang kuat dan pemerataan kesejahteraan.
2) Prinsip-Prinsip Perdagangan Dalam Islam
Ada beberapa
prinsip-prinsip dasar yang diajarkan Islam dalam aktifitas perdagangan antara
lain adalah:
a)
Prinsip saling ridha antara pihak terkait
(penjual dan pembeli).
Perdagangan yang berkah adalah perdagangan yang menguntungkan kedua
belah pihak. tidak ada salah satu pihak yang merasa terzhalimi. Keduanya harus
saling rela tanpa adanya paksaan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-Nisa:29
yang artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa [4] : 29)
Ayat ini menjadi dasar dari berbagai
derifasi peraturan-peraturan perdagangan yang berlaku di dunia secara umum.
b)
Tidak
mendurhakai Allah
Manusia diwajibkan bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, namun dalam bekerja manusia tidak boleh melalaikan
kewajiban-kewajibannya beribadah kepada Allah. Sebagaimana yang terdapat dalam
beberapa ayat:
“dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan,
mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri
(berkhotbah). Katakanlah: "Apa yang di sisi Allah lebih baik daripada
permainan dan perniagaan", dan Allah Sebaik-baik pemberi rezeki.” (QS.
Al-Jumu’ah [62] : 11)
“laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan
tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan
sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang
(di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur [24] : 37)
“Katakanlah: "Jika bapa-bapa , anak-anak ,
saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang
kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad
di jalan-Nya, Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-NYA". dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah [9] :
24)
ketiga ayat diatas melarang kita supaya tidak
melupakan Allah dikarenakan urusan perdagangan. Sudah merupakan keniscayaan
bahwa kita dilarang melalaikan ibadah kepada Allah karena urusan perdagangan,
contohnya seperti mengulur-ulur waktu shalat. Dalam konteks perdagangan, lalai
mengingat Allah dapat diartikan sebagai berbuat kecurangan-kecurangan yang
dapat merugikan orang lain seperti mengurangi timbangan, menyembunyikan cacat
suatu barang, dan kecurangan lainnya.
c)
Prinsip Keadilan Dalam Menakar
“dan
Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca
itu.” (QS. Ar-Rahman [55] : 9)
“dan kepada (penduduk) Madyan (kami utus) saudara
mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali
tiada Tuhan bagimu selain Dia. dan janganlah kamu kurangi takaran dan
timbangan, Sesungguhnya aku melihat kamu dalam Keadaan yang baik (mampu) dan
Sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan
(kiamat)." (84)
“dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah
takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia
terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi
dengan membuat kerusakan.” (85). (QS. Hud [11] : 84-85)
Takaran merupakan sesuatu yang penting dan krusial
dalam perdagangan. Kedua ayat di atas sangat jelas memerintahkan kita untuk memenuhi
takaran dengan benar dan adil. Berbuat adil merupakan salah satu upaya
pendekatan diri kepada taqwa.
3)
Larangan
Dalam Perdagangan
a)
Bai’ Najasy
Transaksi najasy diharamkan karena si penjual menyuruh
orang lain untuk memuji barangnya atau menawar dengan harga tinggi agar orang
lain tertarik pula untuk membeli. Si penawar sendiri tidak bermaksud untuk
benar-benar membeli barang tersebut, ia hanya ingin menipu orang lain yang
benar-benar ingin membeli. Sebelumnya orang ini telah mengadakan kesepakatan
dengan penjual untuk membeli dengan harga tinggi agar pembeli yang sesungguhnya
membeli dengan harga yang tinggi dengan maksud untuk ditipu. Akibatnya terjadi
permintaan palsu (false demand).
b)
Monopoli dan
Ihtikar (penimbunan barang)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa
monopoli adalah situasi yang pengadaan barang dagangannya tertentu (di pasar
lokal atau nasional) sekurang-kurangnya sepertiganya dikuasai oleh satu orang
atau satu kelompok sehingga harganya dapat dikendalikan. Monopoli dalam bahasa
arabnya dikenal dengan istilah ihtikar yaitu secara bahasa adalah
menyimpan makanan.
Pada 5 Maret 1999 Pemerintah Indonesia mengeluarkan
Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang larangan monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat. Pada pasal 1 disebutkan bahwa monopoli adalah penguasaan atas
produksi dan atau pemasaran barang atau atas penggunaan jasa tertentu oleh
suatu pelaku atau suatu kelompok pelaku usaha.
Monopoli atau ihtikar diharamkan dalam islam
sebagaimana hadist riwayat muslim: “Tidaklah orang yang melakukan ihtikar
itu kecuali ia berdosa.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Monopoli
yang dilarang adalah menimbun barang-barang yang merupakan kebutuhan masyarakat
seperti pangan, sandang, minyak, dan lain-lain. Adapun menimbun barang-barang
yang bukan kebutuhan pokok masyarakat dan barang tersebut banyak di tangan
pedagang, serta tidak merugikan masyarakat, maka hal ini diperbolehkan. Untuk
itulah sektor-sektor ekonomi yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak
harus di kuasai negara untuk kesejahteraan bersama.
c)
Talaqi Rukban
Tindakan yang dilakukan oleh pedagang kota (atau pihak
yang lebih memiliki informasi yang lebih lengkap) membeli barang petani (atau
produsen yang tidak memiliki informasi yang benar tentang harga pasar) yang
masih di luar kota, untuk mendapatkan harga yang lebih murah dari harga pasr
yang sesungguhnya. Rasulullah melarang hal ini sebagaimana dalam hadist “Dari
Anas r.a ia berkata: “Rasulullah SAW melarang orang-orang kota menjualkan
barang orang desa yang baru dating sebelum sampai di pasar, walaupun orang itu
saudara kandungnya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Transaksi ini dilarang karena mengandung dua hal:
pertama, rekayasa penawaran yaitu mencegah masuknya barang ke pasar (entry
barrier), dan kedua, mencegah penjual dari luar kota untuk mengetahui harga
pasar yang berlaku.
“Dari Abu Hurairah r.a berkata: “Rasulullah SAW
melarang menyongsong (mencegat kafilah dagang sebelum sampai di pasar) dan juga melarang orang-orang kota menjual kepada orang desa.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Inti dari pelarangan ini adalah tidak adilnya tindakan
yang dilakukan oleh pedagang kota yang tidak menginformasikan harga pasar
sesungguhnya. Mencari barang dengan harga lebih murah tidaklah dilarang, namun
apabila transaksi jual beli antara dua pihak di mana yang satu memiliki
informasi yang lengkap dan yang satu lainnya tidak tahu harga pasar, dan
kondisi tersebut dimanfaatkan untuk mencari keuntungan yang lebih, maka
terjadilah penzaliman antara pedagang
kota dengan petani di luar kota tersebut.
d)
Tadlis (Penipuan)
Penipuan dalam kuantitas ataupun kualitas jelas
dilarang dalam islam. Penipuan kuantitas biasanya terjadi saat menimbang atau
mengurangi timbangan. Sedangkan penipuan dalam kualitas biasanya dilakukan
dengan penyembunyian cacat barang yang dijual, atau dengan bersumpah terhadap
suatu barang sehingga tertutupi kecacatan barang tersebut.
“dan
sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang
benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Al-Isra
[17] : 35)
Rasulullah bersabda: “Sumpah itu dapat melariskan
barang dan menghilangkan barokah keuntungan.” (HR. Bukhari)
e)
Larangan Gharar
(uncertain to both parties), Riba dan Maysir
Taghrir dalam istilah fiqh muamalah berarti
melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa pengetahuan yang mencukupi; atau
mengambil risiko sendiri dari suatu perbuatan yang mengandung risiko tanpa
mengetahui dengan persis apa akibatnya, atau memasuki domain risiko tanpa memikirkan
konsekuensinya. Menurut Ibnu Taimiyah, gharar terjadi bila seseorang
tidak tahu apa yang tersimpan bagi dirinya pada akhir suatu kegiatan jual beli.
Abu Hurairah r.a berkata: “bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli dengan
cara melempar batu dan jual beli gharar (yang belum jelas harga, barang, waktu,
dan tempatnya).” (HR. Muslim). Contoh gharar adalah transaksi ijon
yang tidak jarang masih dijumpai di masyarakat terutama masyarakat pedesaan.
Riba sudah sangat jelas hukumnya dalam Islam
yaitu haram, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada
Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. (278)
Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika
kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (279) (QS. Al-Baqoroh [2] : 278-279)
Ayat tersebut adalah puncaknya pengharaman riba
secara total.
Kemudian Islam juga melarang jual beli yang mengandung
unsur maysir (perjudian) seperti taruhan yang dapat menguntungkan satu
pihak dan merugikan pihak lain. Sebagaiamana firman Allah:
“Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban
untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (
Al-Maidah [5] : 90)
f)
Larangan memaksa
Seorang penjual tidak boleh memaksa pembeli untuk
membeli barangnya, karena pembeli pun berhak menentukan pilihannya untuk
melanjutkan bertransaksi atau tidak. Hak ini disebut hak khiyar (hak
memilih)
Rasulullah SAW bersabda “Dua orang yang melakukan
jual beli boleh melakukan khiyar (pilihan untuk melangsungkan transaksi atau
membatalkannya) selama keduanya belum berpisah”, atau sabda beliau: “hingga
keduanya berpisah. Jika keduanya jujur dan menampakkan dagangannya maka
keduanya diberkahi dalam jual belinya dan bila menyembunyikan dan berdusta maka
akan dimusnahkan keberkahan jual belinya.” (HR. Bukhari)
“Rasulullah SAW melarang munaabadzah, yaitu seseorang
melempar pakaiannya sebagai bukti pembelian harus terjadi (dengan mengatakan
bila kamu sentuh berarti terjadi transaksi) sebelum orang lain itu menerimanya
atau melihatnya dan beliau juga melarang jual beli mulaamasah, yaitu menjual
kain dengan hanya menyentuh kain tesebut tanpa melihatnya (yaitu dengan suatu
syarat misalnya kalau kamu sentuh berarti kamu harus membeli.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
g)
Larangan
jual beli barang haram
“Dari Jabir bin
Abdullah r.a bahwasanya dia mendengar Rasulullah SAW bersabda ketika hari
penaklukan kota Makkah: “Allah dan rasul-Nya telah mengharamkan khamr, bangkai,
babi, dan patung-patung.” Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah, bagaimana
dengan lemak dari bangkai (sapi dan kambing) karena bisa dimanfaatkan untuk
memoles sarung pedang, meminyaki kulit-kulit, dan sebagai bahan minyak untuk
penerangan bagi manusia ?. beliau menjawab: Tidak, dia tetap haram.” Kemudian
saat itu juga Rasulullah bersabda: semoga Allah melaknat yahudi, karena ketik
Allah mengharamkan lemak hewan (sapi dan kambing) mereka mencairkannya dan
memperjual belikannya, dan memakan uang hasil penjualannya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Jual beli barang yang haram jelas dilarang, dan dari
hadist tersebut juga dijelaskan bahwa memakan hasil dari penjualan barang yang
haram pun dilarang.
4)
Upah dalam
Islam
Upah atau ujroh adalah bentuk kompensasi atas
jasa yang telah diberikan tenaga kerja. Dalam pemberian upah yang islami bisa berasal
dari dua faktor: objektif dan subjektif. Objektif adalah upah yang ditentukan
melalui pertimbangan tingkat upah di pasar tenaga kerja. Sedangkan subjektif
upah ditentukan dari pertimbangan sosial. Maksud pertimbangan sosial disini
adalah nilai-nilai kemanusiaan tenaga kerja. Selama ini ekonomi konvensional
berpendapat upah ditentukan melalui pertimbangan tingkat upah dipasar tenaga
kerja saja. Namun ada sisi kemanusiaan yang harus diperhatikan pula, misalnya
cara pembayaran upah sebagaimana hadist dari “Abdullah bin Umar, Rasulullah
SAW bersabda: berikanlah upah kepada pekerja atau orang upahan sebelum
keringatnya mengering.” (HR. Ibnu Majah dan Thabrani) Dari hadist ini
menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Berbeda
dengan konvensional yang hanya memandang manusia sebagai barang modal. Manusia
tidak boleh diperlakukan seperti halnya barang modal atau mesin.
Selain itu, Rasulullah juga menekankan aspek pemberian
upah. Beliau mempertegas pentingnya kelayakan upah dalam sebuah hadist: “
Mereka (para pelayanmu) adalah saudaramu, Allah menempatkan mereka di bawah
asuhanmu, sehingga barang siapa mempunyai saudara di bawah asuhannya maka harus
diberinya makan seperti apa yang dimakannya sendiri, dan memberi pakaian
seperti apa yang dipakainya sendiri, dan tidak membebankan pada tugas yang
sangat berat, dan apabila kamu membebankan dengan tugas seperti itu, maka
hendaklah membantu mereka (mengerjakannya).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadist tersebut setidaknya ada beberapa pesan
yang dapat kita ambil. Yaitu: pertama, hubungan antara majikan dengan pekerja
atau perusahaan dengan karyawan adalah hubungan man to man brotherly
relationship, yaitu hubungan persaudaraan. Kedua: tingkat upah minimum
setidaknya harus memenuhi tingkat kebutuhan dasar bagi para tenaga kerja.
Ketiga: beban kerja dan lingkungan yang melingkupinya haruslah sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan dan tidak mengeksploitasi tenaga kerja.
Dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat mengenai upah,
diantaranya adalah:
“kemudian datanglah kepada Musa
salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata:
"Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan Balasan terhadap
(kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi
bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya),
Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari
orang-orang yang zalim itu". (25)
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang
paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya". (26)
Berkatalah Dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan
kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah
(suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu
insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik". (27)
Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. mana
saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka tidak ada
tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa yang kita
ucapkan". (28). (QS. Al-Qashas [28] : 25-28)
“mereka berkata: "Hai
Dzulkarnain, Sesungguhnya Ya'juj dan Ma'juj itu orang-orang yang membuat
kerusakan di muka bumi, Maka dapatkah Kami memberikan sesuatu pembayaran
kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara Kami dan mereka?" (QS.
Al-Kahfi [18] : 94)
Implementasi nilai-nilai kemanusiaan dalam penentuan upah yang islami
dapat berasal dari dua sumber, yaitu pertama: musta’jir (majikan) dan
kedua pemerintah. Musta’jir yang beriman akan menerapkan nilai-nilai
kemanusiaan dalam menentukan upah bagi para ajirnya (pekerjanya).
Termasuk nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Yusuf Qardhawi mengatakan adil dalam pemberian upah “Sesungguhnya
seorang pekerja hanya berhak atas upahnya jika ia telah menunaikan pekerjaannya
dengan semestinya dan sesuai dengan kesepakatan. Karena umat islam terikat
dengan syarat-syarat antar mereka, kecuali syarat yang mengharamakn yang halal
atau menghalalkan yang haram. Namun, jika ia membolos bekerja tanpa alasan yang
benar atau sengaja, sepatutnya hal itu diperhitungkan atasnya (dipotong
upahnya), karena setiap hak diiringi dengan kewajiban. Selama ia mendapatkan
haknya secara penuh, kewajibannya juga harus dipenuhi. Maka sepatutnya hal ini
dijelaskan detail dalam peraturan kerja yang menjelaskan masing-masing hak dan
kewajiban kedua belah pihak.”
Dalam implementasi
nilai-nilai keadilan, pemerintah bertugas (bila perlu) melakukan intervensi
dalam penentuan upah, dikarenakan adanya kewajiban pemerintah untuk mengawasi,
menjaga, dan mengkoreksi implementasi nilai-nilai keadilan. Dan juga untuk
menjaga keadilan serta kesejahteraan rakyatnya, dalam hal ini musta’jir dan
ajir.
C.
Kesimpulan
Muhammad SAW selain seorang rasul, beliau juga
merupakan seseorang yang sukses dalam aspek kehidupan beliau yang lain yaitu
berdagang. Beliau sudah memulai bisnisnya sejak remaja hingga dewasa. Karir
beliau sebagai pebisnis mencapai puncaknya ketika menikah dengan Siti Khadijah,
beliau bersama istrinya mengelola bisnisnya dan beraliansi dengan investor, dan
agen perdagangannya. Kemudian setelah diangkat menjadi seorang rasul, beliau
fokus berdakwah hingga akhir hayat beliau.
Beliau memotivasi para sahabat dan kita umatnya untuk
menggiatkan dan menguasai perdagangan. Perdagangan merupakan salah satu pintu
rezeki yang baik bagi manusia. Perdagangan yang didasari taqwa kepada Allah,
tidak hanya akan mendapatkan keuntungan materi semata, tetapi juga mendapat
pahala yang besar disisi Allah.
Prinsip dan larangan perdagangan telah Rasulullah
contohkan, maka sepatutnyalah kita mengikuti ajaran beliau dalam urusan
perdagangan. Beliau melarang cara-cara kotor dalam mengambil keuntungan karena
selain hilangnya keberkahan, cara-cara curang juga dapat mendistorsi pasar yang
berdampak buruk terhadap sistem pasar dan perekonomian secara umum.
Rasulullah juga telah mencontohkan kita bagaimana cara
berperilaku kepada pelayan atau orang yang bekerja di bawah asuhan kita. Beliau
menekankan pentingnya nilai-nilai egaliter (persamaan derajat) , partnership,
humanity, dan kelayakan kompensasi. Sistem pemberian upah harus adil dari
sisi tenaga kerja (ajir) dan dari sisi majikan atau perusahaan (musta’jir).
Referensi
Al-Quran dan Terjemahan
Antonio, M. Syafii, (2007), Muhammad SAW The Super Leader Super
Manager. Jakarta: Tazkia Publishing & ProLM Centre.
Hafidhuddin, Didin dan Syauqi Beik, (2014), Modul Tafsir Hadist
Ekonomi dan Manajemen. Bogor: Program Pascasarjana MB-IPB.
Karim, Adiwarman, (2010), Ekonomi
Mikro Islami Edisi Ketiga. Jakarta: Rajawali Pers.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar