بسم
الله الرحمن الرحيم
السلام
عليكم ورحمةالله وبركاته
ANALISIS FIQH MUAMALAT DALAM TOP UP
PEMBIAYAAN MURABAHAH
Diketahui contoh kasus sebagai berikut:
Murabahah 1:
·
Harga beli (HPP) Rp 100 juta jangka waktu
pembiayaan 2 tahun (24 bulan). Dengan margin keuntungan sebesar Rp 20 juta (10%
flat p.a). Total harga jual sebesar Rp 120 juta. Pembayaran dengan cara dicicil
sehingga cicilan perbulan sebesar Rp 5 juta. Setelah berjalan 12 bulan (asumsi
cicilan berjalan lancar) debitur mengajukan tambahan pembiayaan (Top up).
Sehingga sisa kewajiban pada akad pertama ini sebesar Rp 60 juta (50 juta pokok
dan 10 juta sisa margin).
Murabahah 2:
·
Harga beli (HPP) Rp 85 juta dengan jangka
waktu 3 tahun (36 bulan) dengan margin keuntungan sebesar Rp 30,6 juta (12%
flat p.a). Total harga jual sebesar Rp 115,6 juta.
Total Gabungan kedua akad menjadi satu akad dan satu
angsuran (top up). Margin fasilitas 1 karena diperpanjang menjadi 3 tahun
menjadi sebesar Rp 18 juta (sisa pokok 50 juta x margin 12 %/tahun x jangka
waktu 3 tahun). Sisa margin murabahah 1 sebesar Rp 10 juta maka tambahan margin
sebesar Rp 8 juta ditambahkan pada margin murabahah 2 menjadi Rp 38,6 juta
(30,6 + 8). Dengan demikian maka total keseluruhan gabungan fasilitas
pembiayaan menjadi Rp 183,6 juta (60 + 85 + 38,6)
1. Analisis Fiqh Muamalat
Pada kasus diatas terjadi penggabungan 2
akad murabahah yang sudah jelas kedua akad tersebut dilakukan pada waktu yang berbeda.
Padahal dalam kasus tersebut antara akad murabahah pertama dan akad murabahah
kedua berselang 1 tahun. Penggabungan 2 akad ini dilarang oleh Rasulullah
karena berpotensi menimbulkan riba sebagaimana hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
(رواه ترمزي) نَهَى رَسُوْلُ الله ﷺ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
“Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang dua jual beli dalam satu jual beli” (HR.
Tirmizi)
Menurut penulis, kasus top up diatas bertentangan
dengan hadist Rasulullah diatas dimana Rasulullah melarang menggabungkan 2
akad jual beli. Kemudian, selain itu jika merujuk pada salah satu kaidah fiqh
berikut ini:
الْعِبْرَةُ فِيْ الْعُقُوْدِ بِالْمَقَاصِدِ
وَالْمَعَانِى وَلَا بِالاَلْفَاظِ وَالْمَبَانِى
“Yang
dilihat dalam suatu akad adalah tujuan serta hakikatnya, bukan lafal (teks) dan
bentuk luarnya.”
Berdasarkan kaidah tersebut, maka pada
hakikatnya akad murabahah adalah akad jual beli secara tangguh (hutang) dimana
pembeli atau debitur mencicil pembiayaan tersebut dalam jumlah tertentu sampai
jangka waktu tertentu menurut kesepakatan kedua belah pihak. Pada contoh kasus
diatas murabahah sudah dimodifikasi jadi, terdapat penggabungan antara akan
murabahah pertama yang masih berstatus hutang yang digabungkan dengan akad
murabahah kedua. Mungkin salah satu tujuan penggabungan kedua akad tersebut
selain mencari tambahan keuntungan adalah melakukan simplifikasi perhitungan
dan pembukuan yang dilakukan oleh perusahaan atau pemberi pembiayaan.
Rasulullah telah mengharamkan menggabungkan
antara akad hutang dengan akad jual beli. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam
hadist berikut ini:
لَا
يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلَا شَرْطَانِ فِيْ بَيْعٍ وَلاَ رِبْحُ مَا لَمْ
تَضْمَنْ وَلاَ بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ (رواه ابو داود)
“Tidak
halal menggabungkan antara akad pinjaman dan akad jual beli, tidak halal dua
persyaratan dalam satu jual beli, tidak halal keuntungan barang yang tidak
dalam jaminanmu, tidak halal menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu
Dawud) Dishahihkan oleh Al-Albani dengan derajat hasan shahih.
Dengan penggabungan kedua akad tersebut,
maka konsekuensi logisnya adalah terjadi penambahan keuntungan. Yaitu pada akad
murabahah pertama dari 10 juta bertambah menjadi 18 juta (karena margin dan
jangka waktunya mengikuti akad murabahah kedua). 8 juta ini adalah tambahan
margin yang kemudian ditambahkan jumlahnya pada margin murabahah di akad
kedua. Dimana margin keuntungan murabahah pada akad kedua yang semula hanya
30,6 juta menjadi 38,6 juta.
Hal ini jelas merupakan riba yang diharamkan
oleh syariat. Karena akad murabahah pertama yang masih berstatus sebagai sisa
kewajiban (hutang) digabungkan dengan akad kedua menyebabkan adanya tambahan
margin bagi akad kedua. Hal ini terlarang karena hutang memberikan tambahan
sebagaimana kaidah fiqh:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَة فَهُوَ رِبًا
“Setiap
pinjaman yang memberikan manfaat (bagi pemberi pinjaman) adalah riba”
Allah telah melarang kita mengambil riba
dalam bentuk apapun dan dalam jumlah berapapun, seperti yang Allah jelaskan
dalam firman-Nya berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-Baqoroh [2] : 278-279)
Pada kasus
tersebut terjadi multi pelanggaran yaitu pelanggaran karena penggabungan kedua
akad jual beli tangguh (hutang). Dan pelanggaran kedua adalah pelanggaran
karena adanya riba yang merupakan implikasi dari penggabungan kedua akad
tersebut. Rekomendasi penulis adalah dengan menghindarkan cara top up seperti
ini karena jelas menyalahi syariat yang Rasulullah jelaskan dalam hadist yang
sebelumnya sudah dipaparkan diatas. Riba tidak boleh terjadi pada setiap transaksi,
bahkan potensi yang menimbulkan terjadinya riba pada suatu transaksi pun harus
dihindarkan (sadz zara’i). Berikut solusi alternatif yang menurut
penulis dapat dilakukan agar terhindar dari riba.
2.
Solusi Syar’i
Solusinya
adalah dengan tetap memisahkan antara murabahah pertama dan murabahah kedua.
Murabahah pertama dengan jangka waktu 2 tahun (24 bulan) yang sudah berjalan selama 1 tahun (12 bulan) tetap pada
posisinya. Melanjutkan sisa cicilannya sebesar 5 juta perbulan. Dan murabahah
kedua juga tetap pada posisinya dengan cicilannya sendiri. Contohnya dapat
penulis ilustrasikan sebagai berikut:
Murabahah 1
·
Akad dimulai
pada tanggal 5 Januari 2015 dan cicilan pertama akan dimulai pada 1 Februari
2015 dan berakir pada 1 Februari 2017. Debitur lancar membayar cicilannya
sebesar 5 juta perbulan hingga sampai pada 1 Februari 2016 kemudian debitur
ingin melakukan top up. Karena pembayaran lancar maka perusahaan bersedia
memberikan top up.
Murabahah 2
·
Top up
dengan pembiayaan total pokok dan margin sebesar 115,6 juta yang dicicil selama
36 bulan. Artinya angsuran perbulannya sekitar 3,21 juta. Asumsikan untuk akad
murabahah kedua ini cicilan dimulai pada 1 maret 2016 dan akan berakir pada 1
Maret 2019.
Dengan
memisahkan antara akad murabahah pertama dan kedua maka pembayaran cicilan
debitur apabila cicilan tiap bulan apabila cicilan tersebut digabung menjadi
8,21 juta (5 + 3,21). Total ini akan nasabah cicil tiap bulannya hanya sampai
akad murabahah pertama jatuh tempo (berakhir) yaitu pada tanggal 1 Februari
2017.
Kemudian berikutnya
setiap bulannya mulai tanggal 1 Maret 2017 sampai 1 Maret 2019, debitur hanya
akan melakukan pembayaran cicilan sebesar 3,21 juta saja (angsuran murabahah
kedua). Pembayaran cicilan mungkin akan terasa berat bagi debitur hanya pada
saat tahun pertama pembiayaan akad murabahah kedua saja, hal ini merupakan
konsekuensi yang harus diterimanya sehubungan dengan pengajuan top up pembiayaan
dan masih adanya cicilan di akad murabahah pertama. Namun pada tahun kedua dan
ketiga cicilan akan terasa ringan karena debitur hanya akan membayaarkan
cicilan akad murabahah kedua saja. Lembaga keuangan pun dilarang memanfaatkan
situasi top up ini untuk menambah keuntungan dengan menggabungkan akad-akad
tersebut. Apabila dikalkulasikan total secara keseluruhan, maka terlihat
perbedaan antara top up dengan cara memisahkan kedua akad dan menggabungkan
kedua akad sebagai berikut:
Total uang yang
didapatkan dengan memisahkan akad murabahah
|
Total uang yang
didapatkan dengan menggabungkan akad murabahah
|
Total akad murabahah pertama ditambah margin keuntungan 120 juta
|
Akad murabahah pertama yang sudah terbayarkan 60 juta
|
Total akad murabahah kedua ditambah margin keuntungan 115,6 juta
|
Total akad murabahah kedua 183,6 (60 + 85 + 38,6)
|
Total uang yang diperoleh Rp 235,6 juta
|
Total uang yang diperoleh Rp 243,6 juta
|
Dari tabel diatas terbukti secara keseluruhan bahwa ada tambahan 8 juta yang didapatkan dari penggabungan kedua akad tersebut. Pertambahan inilah pertambahan riba yang diharamkan oleh Allah. Walaupun terjadi kesepakatan dan kerelaan antara pihak yang bertransaksi diatas, tetap tidak dapat menghalalkan status riba. Berdasarkan sabda Rasulullah berikut ini:
“Perjanjian boleh dilakukan diantara kaum
muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat diantara mereka kecuali
syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (HR.
Tirmizi)
Rela sama rela (‘an taradhin minkum) antara pihak-pihak yang terlibat dalam kasus penggabungan kedua akad tersebut tidak dapat melegalkan statusnya sebagai riba yang dilarang. Penggabungan kedua akad tersebut walaupun terjadi kesepakatan antara debitur dan pemberi pembiayaan, akan tetapi tetap tidak dapat melegalkan hal tersebut karena mengandung riba yang diharamkan oleh syariat. Artinya kesepakatan tersebut batal demi hukum (syariat) dan tidak boleh dilakukan.
Karena yang
haram tidak akan berubah menjadi halal hanya karena kerelaan antara pihak yang
berakad. Jual beli babi tetap tidak boleh dilakukan bagi orang-orang beriman
hanya karena terjadi rela sama rela antara dirinya dan penjual babi. Perzinahan
tetap diharamkan walaupun pelakunya dalam perasaan rela sama rela atau suka sama
suka. Rela sama rela (‘an taradhin minkum) hanya berlaku untuk barang
dan jasa yang halal, cara yang halal, bebas dari riba dan cara-cara bathil
lainnya.
Maka penulis merekomendasikan agar tidak dilakukan penggabungan kedua akad tersebut karena menimbulkan riba yang Allah ancam pengambil riba dengan berperang kepada Allah dan Rasul-Nya. Top up tetap boleh dilakukan dengan cara memisahkan kedua akad yang memang seharusnya dipisahkan sesuai tuntunan dari sabda Rasulullah agar tidak berpotensi menimbulkan riba serta transaksi yang terjadi tetap dalam syariat yang penuh dengan keberkahan.
Wallahu A’lam Bish Showaab.
Hendri Wijaya
Bachelor of Islamic Economics from Faculty of Sharia and Law
(muamalat.fsh.uinjkt.ac.id)
Graduate Student of Master Program in Sharia Management
Tidak ada komentar:
Posting Komentar