بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمةالله وبركاته
MANAJEMEN
KOMPENSASI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
A.
Pendahuluan
Manusia adalah khalifah Allah dimuka
bumi yang diberi kuasa oleh Allah untuk memakmurkan bumi-Nya. Dalam upaya
manusia mengemban amanah-Nya sebagai khalifah di bumi ini, manusia
diberikan akal pikiran oleh Allah sebagai penunjang tugasnya dalam memakmurkan
bumi-Nya. Manusia dituntut untuk terus berpikir agar dapat memakmurkan bumi
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang Allah tetapkan agar pemakmuran bumi
memberikan maslahah sebagai bagian yang terintegrasi dari salah satu
konsep Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Allah
memerintahkan manusia bekerja sebagai salah satu bentuk nyata manusia dalam
rangka memakmurkan bumi seperti firman
Allah dalam ayat berikut:
Artinya:
dan Katakanlah “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin
akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang
mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa
yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah [9] : 105)
Dengan bekerja, artinya manusia telah
menjalankan salah satu fungsi ke-khalifahannya di muka bumi.
Salah satu konsekuensi logis dari bekerja adalah manusia mendapatkan kompensasi
dari hasil pekerjaannya. Kompensasi ini dapat berupa dimensi non-material seperti
kepuasan batin, kebahagiaan, networking, dan hal lainnya yang merupakan
urusan bathiniyah yang tak mampu diukur dan tak terlihat oleh kasat mata. Kemudian
kompensasi yang tak kalah pentingnya adalah dimensi material finansial seperti gaji,
bonus, keuntungan, insentif, pendapatan, tunjangan, deviden dan lain
sebagainya.
Menurut
teori ekonomi, upah diartikan sebagai pembayaran atas jasa-jasa fisik, pikiran
ataupun mental yang diberikan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha. Dengan
demikian, dalam teori ekonomi tidak dibedakan antara pembayaran atas jasa-jasa
pekeerja kasar dan tidak tetap dengan pekerja tetap. Upah dapat dikatakan pula sebagai
imbal jasa atas prestasi kerja, namun pengertian tersebut tidak selalu dapat
dipakai untuk seluruh kebutuhan karena ada beberapa kondisi yang tidak sesuai
dengan hubungan tersebut.
Sistem
pengupahan yang baik adalah sistem yang mampu menjamin kepuasan para anggota
organisasi atau perusahaan (tenaga kerja atau karyawan) yang pada akhirnya
suatu perusahaan tersebut akan mendapatkan hasil yang baik dari sikap dan
perilaku positif karyawan. Karena karyawan merupakan salah satu faktor penentu
terhadap tinggi rendahnya pertumbuhan perusahaan. Keberhasilan suatu perusahaan
sangat ditentukan oleh tenaga kerja dalam mempersiapkan dirinya memberikan
kemampuan terbaik yang dimilikinya sebagai sarana untuk tetap eksis dalam
persaingan.
Kesejahteraan
sosial bagi para karyawan merupakan segala unsur yang diterima karyawan baik
berupa uang atau barang. Baik yang diberikan dengan langsung atau tidak
langsung. Dan hal ini sangat penting sebagai salah satu pembentukan loyalitas
karyawan kepada perusahaan, pembentukan kedisiplinan dan pembentukan moral
seluruh karyawan. Urusan pengupahan atau penggajian memang sangat sensitif bagi
para pekerja dan pemberi kerja (perusahaan). Para karyawan sebagai pekerja
tentunya menginginkan upah yang layak sebagai bentuk kompensasi dari keahliannya
dalam memberikan kontribusi positif kepada perusahaan.
Karyawan
menuntut gaji yang mencukupi kebutuhannya dan keluarganya dalam bertahan hidup
ditengah mahalnya harga-harga kebutuhan pokok dan kenaikan inflasi. Namun di
sisi lain, perusahaan pun menginginkan efisiensi dalam merekrut dan membayar
para pekerjanya. Kontradiksi inilah seringkali menimbulkan friksi antara para
pekerja dan perusahaan. Oleh karena itu, pemberian upah yang adil dan
proporsional sangat krusial dalam kehidupan perusahaan agar tercipta hubungan yang saling menguntungkan dan win win solution antara karyawan
dan perusahaan.
Dalam
Islam, pembahasan sekaligus praktik hubungan antara kinerja dengan upah sudah
dijelaskan dalam Al-Quran, salah satunya yang terdapat dalam ayat berikut ini:
Artinya: “berkatalah
dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah
seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan
tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan)
dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan
mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik." Dia (Musa) berkata:
"Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. mana saja dari kedua waktu yang
ditentukan itu aku sempurnakan, Maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku
(lagi). dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.” (QS. Al-Qashash
[28] : 27-28)
Pada ayat tersebut Allah jelaskan kepada kita salah satu bentuk
hubungan antara kinerja dan upah. Contoh yang Allah berikan adalah kisah antara Nabi
Syuaib ‘Alaihissalam dengan Nabi Musa ‘Alaihissalam. Contoh
tersebut menjelaskan bahwa Nabi Syuaib ‘Alaihissalam bertindak sebagai
pemberi kerja yang mempekerjakan Nabi Musa ‘Alaihissalam dimana
kompensasi atau imbalan dari pekerjaan tersebut adalah Nabi Musa ‘Alaihissalam
dinikahkan dengan salah satu anak perempuan Nabi Syuaib ‘Alaihissalam.
Semenjak diutusnya Rasulullah kepada seluruh manusia, konsep-konsep
dan praktik pengupahan dalam Islam semakin mengalami perkembangan yang pesat.
Aturan-aturan pengupahan semakin nyata dan prinsip-prinsip pengupahan semakin
memberikan keadilan serta semakin memanusiawikan para pekerja tanpa mengabaikan
para pemberi kerja pula. Pada tulisan ini InsyaAllah akan dibahas mengenai
kompensasi atau upah dalam perspektif ekonomi syariah, dimana tulisan ini akan
mencakup prinsip-prinsip pengupahan Islami yang di takhrij berdasarkan
Al-Quran dan hadist.
B.
Pengertian dan Tujuan Kompensasi
Secara bahasa, kompensasi berasal dari
kata serapan berbahasa inggris yaitu compensation yang berarti imbalan
atau bayaran. Sedangkan kompensasi menurut undang-undang negara Republik
Indonesia adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam
bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja menurut suatu
perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan meliputi
tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas jasa dan pekerjaan yang
telah dilakukan. Dari pengertian diatas maka dapat kita lihat beberapa tujuan
dari manajemen kompensasi adalah:
1. Mendapatkan
SDM yang berkualitas dan profesional
Kompensasi
yang cukup tinggi akan menarik bagi para pencari kerja. Tingkat pengupahan
harus responsif terhadap penawaran dan permintaan pasar kerja karena semua
perusahaan berkompetisi untuk mendapatkan karyawan yang berkualitas.
2. Mempertahankan
karyawan
Para
karyawan akan cenderung mudah keluar dari perusahaan apabila besaran kompensasi
yang diterimanya tidak kompetitif dan tidak mencukupi kebutuhannya. Akibatnya
akan menimbulkan perputaran karyawan yang tinggi dan berdampak pada inefisiensi
perusahaan.
3. Menjamin
keadilan
Manajemen
kompensasi selalu berupaya agar keadilan internal dan eksternal dapat terwujud.
Keadilan internal masyarakat bahwa pembayaran gaji dikaitkan dengan nilai
relatif sebuah pekerjaan yang sama dibayar dengan besaran gaji yang sama.
Sedangkan keadilan eksternal berarti pembayaran terhadap pekerja merupakan yang
dapat dibandingkan dengan perusahaan lain di pasar kerja.
4. Penghargaan
terhadap perilaku yang diinginkan
Pembayaran
upah hendaknya memperkuat perilaku yang diinginkan dan bertindak sebagai
insentif untuk perbaikan perilaku di masa depan mengenai kinerja, pengalaman,
tanggung jawab dan perilaku lainnya.
5. Mengendalikan
biaya
Sistem
kompensasi yang baik akan membantu perusahaan memperoleh dan mempertahankan
sejumlah karyawan dengan biaya yang logis. Tanpa manajemen kompensasi yang
efektif, bisa jadi pekerja d bayar dibawah atau diatas standar.
6. Mengikuti
aturan hukum
Sistem
pengupahan yang baik juga mempertimbangkan faktor-faktor legal yang dikeluarkan
pemerintah dan menjamin kebutuhan karyawannya.
C.
Definisi Upah Dalam Perspektif Islam
Dalam perspektif Islam, upah termasuk ke dalam domain fiqh
muamalat, yakni dalam pembahasan tentang ijaroh. Menurut bahasa, ujroh
berarti upah. Oleh karena itu, lafaz ujroh memiliki pengertian umum
yang meliputi upah atas pemanfaatan suatu benda atau imbalan dari suatu
kegiatan. Kitab-kitab fiqh muamalat kontemporer saat ini banyak yang menerjemahkan kata ujroh dengan
sewa menyewa, maka hal tersebut jangan lantas diartikan dengan menyewa suatu
barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus pula dipahami dalam arti
yang lebih komprehensif.
Pendapat lain mengemukakan bahwa ujroh berasal dari kata al-ajru
yang berarti ‘iwadh (ganti). Dengan sendirinya, lafaz al-tsawab (pahala)
dapat juga dikatakan dengan upah, karena al-tsawab (pahala) merupakan
imbalan atas suatu pekerjaan baik. Ujroh atau upah diartikan sebagai
imbalan atas jasa seorang ajir (orang yang dikontrak jasanya) oleh mustajir
(orang yang membayar jasanya). Ijaroh merupakan transaksi terhadap
jasa tertentu disertai dengan kompensasi. Kompensasi inilah yang kemudian disebut
ujroh. Kata ajrun ini dapat kita temui dalam ayat berikut:
Artinya: “Maka
jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka
upahnya.” (QS. Ath-Tholaq [65] : 6)
Adapun
mengenai bentuk upah, tidak selalu harus berbentuk uang. Tetapi makanan,
pakaian dan sejenisnya dapat pula dijadikan sebagai upah. Seorang ajir boleh
dikontrak jasanya dengan suatu kompensasi atau upah berupa makanan dan pakaian.
Dalam arti yang lebih luas, ijaroh atau upah bermakna akad yang berisi
penukaran manfaat sesuatu dengan cara memberikan imbalan dalam jumlah tertentu.
Sayyid sabiq memberikan definisi mengenai ijaroh sebagai suatu jenis
akad untuk mengambil manfaat dengan cara penggantian.
Oleh
karena itu, menyewakan pohon untuk diambil buahnya tidaklah sah. Karena pohon
bukan sebagai manfaat. Demikian juga menyewakan dua jenis mata uang (emas dan
perak), makanan untuk dimakan, barang yang dapat ditukar dan ditimbang karena
jenis barang-barang ini tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan cara
menggunakan barang itu sendiri (habis dzatnya). Karena ujroh adalah
kepemilikan manfaat, maka akad menghendaki pengambilan manfaatnya saja dan
bukan menghabiskan barang itu sendiri.
D. Landasan Hukum Upah Dalam Islam
Upah
adalah tranasksi yang lazim dilakukan di masyarakat dari berbagai status dan
strata sosial. Tentu saja hukum dari upah adalah mubah (boleh) karena
upah termasuk kedalam domain muamalah dimana hukum asal dari setiap muamalah
adalah boleh, kecuali terdapat dalil yang mengharamkannya. Mengingat banyaknya
ayat Al-Quran dan hadist yang dijadikan argumentasi ulama, maka status
kemubahannya menjadi semakin kuat. Landasan Al-Quran yang dikemukakan adalah
sebagai berikut:
Artinya: “Maka keduanya berjalan; hingga
tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu
kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu
mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang
hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau
kamu mau, niscaya kamu
(bisa) mengambil upah untuk itu.” (QS. Al-Kahfi [18] : 77)
Artinya: “. . . Dan jika kamu ingin anakmu
disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut . . .”
(QS. Al-Baqoroh [2] : 233)
Artinya: “salah seorang dari kedua wanita
itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada
kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja
(pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash [28] :
26)
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
قال : مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا إِلاَّ رَعَى الْغَنَمُ. فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَ
أَنْتَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا، قَالَ قَرَارِيْطُ لِأَهْلِ مَكَّةَ.
(رواه البخاري)
Artinya: Dari
Abu Hurairah dari Rasulullah, beliau bersabda “Tidaklah Allah mengutus seorang
Nabi kecuali ia pernah bekerja sebagai pengembala kambing.” kemudian salah
seorang sahabat bertanya: “begitu jugakah dengan Anda ya Rasulullah” maka
Rasulullah menjawab: “Ya, aku pernah mengembala kambing milik penduduk Mekkah
dengan upah beberapa qirath” (HR. Bukhari)
Dasar
dan landasan hukum dari segala kegiatan, akad dan transaksi dalam ekonomi Islam
adalah Al-Quran dan sunnah. Dua sumber utama tersebut harus dirujuk terlebih
dahulu dibandingkan sumber hukum lainnya dalam Islam seperti ijtihad.
Masih banyak ayat Al-Quran dan hadist yang berkaitan dengan persoalan
pengupahan, namun penulis hanya mengambil beberapa ayat saja dimana ayat-ayat
tersebut cukup familiar dan sudah banyak dijadikan rujukan oleh para ulama
dunia dalam membolehkan ijaroh.
E.
Prinsip-prinsip Upah Dalam Islam
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan
dan menjadi dasar dalam Islam untuk menentukan upah bagi tenaga kerja.
Diantaranya adalah:
1)
Kesepakatan
dan kerelaan antara ajir dan mustajir
Dalam segala
jenis akad dan transaksi bisnis, terciptanya unsur rela sama rela antara
pihak-pihak didalamnya sangat dikedepankan. Islam melarang adanya unsur paksaan
yang dapat merugikan salah satu pihak dimana hal tersebut akan mengakibatkan
seseorang masuk kedalam memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil.
Sebagaimana yang Allah jelaskan dalam firman-Nya berikut:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu . . .” (QS. An-Nisaa [4] : 29)
2)
Mencukupi kebutuhan dasar
Upah
yang baik haruslah mencukupi kebutuhan dasar para karyawan. Setidaknya, dengan
terpenuhi kebetuhan dasar, para karyawan akan merasa diperhatikan oleh
perusahaan sehingga tercipta hubungan emosional yang kuat antara karyawan dan
perusahaan dan menciptakan loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Terpenuhinya
kebutuhan dasar ini berdasarkan sabda Rasulullah:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
قال: لِلْمَمْلُوْكِ طَعَامُهُ
وَكِسْوَتُهُ
وَلَا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيْقُ (رواه المسلم)
Artinya:
“Seorang budak itu berhak mendapatkan pangan dan sandang (dari tuannya) dan
janganlah dia dibebani atas suatu pekerjaan melainkan sesuai dengan
kemampuannya.”
(HR. Muslim)
3) Proporsional
dan transparan
kompensasi atau upah adalah konsekuensi dari kinerja seseorang.
Maka dengan demikian salah satu tolak ukur penentuan upah yang proporsional
adalah yang sesuai dengan job desc yang melekat pada tiap-tiap
pekerjaan. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam
Al-Quran pada ayat berikut:
Artinya: “dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm [53] : 39)
Pada ayat yang lain Allah juga berfirman mengenai keadilan dalam pemberian kompensasi dalam ayat berikut:
Artinya: “dan bagi masing-masing mereka derajat
menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka
(balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (QS.
Al-Ahqaf [46] : 19)
Kemudian setelah itu, pada awal akad atau kontrak pekerjaan,
perusahaan seharusnya menjabarkan dan menginformasikan dengan sejelas-jelasnya
tugas dan tanggung jawab yang akan di
amanahkan kepada calon karyawan. Sehingga karyawan dapat menilai apakah upah
yang akan diterimanya sudah sesuai dengan pekerjaan yang akan dipikulnya nanti.
Dengan adanya transparansi ini karyawan akan mengetahui tugas-tugas pokok yang
harus ia selesaikan, target yang harus dicapai dan strategi apa saja yang akan
ia gunakan untuk mencapai target tersebut. Hal ini disebut itqon (tepat,
terarah dan tuntas) sebagaimana sabda Rasulullah berikut:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ
أَحَدُكُمُ الْعَمَلَ أَنْ يُتْقِنَهُ (رواه الطبراني)
Artinya:
“Sesungguhnya Allah menyukai salah seorang diantara kalian yang apabila ia
mengerjakan suatu pekerjaan, ia kerjakan dengan itqon (jelas, terarah dan
tuntas)” (HR. Thabrani)
4)
Partnership
relationship
dalam Islam
hubungan antara perusahaan dengan karyawan, majikan dengan pembantu, atasan
dengan bawahan adalah hubungan partnersip. Dimana keduanya saling melengkapi,
dengan hubungan ini maka tidak ada majikan atau atasan yang merasa superior
ketika berpapasan dengan bawahannya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah
berikut:
هُمْ
إِخْوَانُكُمْ جَعَلَهُمُ اللهُ تَحْتَ أَيْدِيْكُمْ فَأَطْعِمُوْهُمْ مِمَّا
تَأْكُلُوْنَ وَ أَلْبِسُوْهُمْ مِمَّا تَلْبَسُوْنَ وَلَا تُكَلِّفُوْهُمْ مَا
يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوْهُمْ فَأَعِيْنُوْهُمْ (رواه المسلم)
Artinya:
“mereka adalah saudara-saudaramu yang dijadikan Allah tunduk dibawah
kekuasaanmu. Oleh karena itu berilah mereka makan sebagaimana yang kamu makan,
berilah mereka pakaian sebagaimana yang kamu pakai, dan janganlah kamu
membebani mereka di luar kemampuannya. Jika kamu memberikan beban kepada mereka
maka bantulah mereka.” (HR. Muslim)
5)
Tidak
menunda hak karyawan
Termasuk hal
yang zhalim adalah menunda-nunda pemenuhan
hak karyawan dengan cara menahan atau menunda-nunda upahnya tanpa alasan yang nyata
dan dibenarkan. Penundaan pembayaran Rasulullah
menganjurkan pemberian upah sesegera mungkin karena upah merupakan hak pegawai
yang harus segera dipenuhi. Sebagaimana sabda Rasulullah berikut ini:
أَعْطُوْا
الْأَجِيْرَ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواه إبن ماجه، وصححه الباني)
Artinya:
“berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya mengering.” (HR. Ibnu Majah,
dishahihkan Al-Albani)
6)
Tidak
mengeksploitasi tenaga kerja
Para karyawan
atau pekerja tidak diperlakukan sebagaimana mesin yang terus menerus dipicu
tenaganya demi mengejar target produksi. Hal tersebut jika dilakukan merupakan
termasuk bentuk eksploitasi kakryawan. Akan tetapi, perusahaan haruslah
memperlakukan karyawan secara manusiawi. Harus memperhatikan keseimbangan waktu
dan tenaganya untuk bekerja dan bersama keluarga.
مَا خَفَّفْتَ
عَنْ خَادِمِكَ مِنْ عَمَلِهِ كَانَ لَكَ أَجْرًا فِيْ مَوَازِيْنِكَ (رواه إبن
حبان)
Artinya: “keringanan yang kamu
berikan kepada budakmu maka itu menjadi pahala timbangan amalmu.” (HR. Ibnu
Hibban)
Itulah sedikitnya menurut penulis ke-enam prinsip pemberian
upah dalam Islam. Diharapkan dengan diterapkan sedikitnya enam prinsip diatas,
akan terjadi kesinergisan antara pemberi kerja atau perusahaan atau pengusaha
dengan para tenaga kerja. Sehingga para tenaga kerja mendapatkan kompensasi
yang layak dan adil atas usahanya, dan di sisi lain perusahaan pun diuntungkan
dengan produktivitas para tenaga kerjanya.
F. Perbedaan Tingkat Upah Dalam Islam
Pada pembahasan ini perlu dianalisa apakah perbedaan tingkat upah ini diakui dalam Islam
atau tidak. Dalam kehidupan memang banyak sekali kita temui perbedaan tingkat
upah. Terdapat berbagai faktor utama yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan
upah tersebut salah satunya adalah faktor perbedaan kemampuan, pendidikan dan
tanggung jawab dari tenaga kerja. Perbedaan ini termasuk dari salah satu
sunnatullah yang Allah terangkan dalam beberapa ayat berikut ini:
Artinya: “dan Dia lah yang menjadikan kamu
penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian
(yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am [6] : 165).
Dalam ayat
tersebut, jelas terlihat bahwa Allah lah yang telah menciptakan diferensiasi
atas makhluknya (manusia). Diferensiasi atau perbedaan-perbeaan ini meliputi
perbedaan pendidikan, keterampilan, kemampuan dan lain sebagainya. Perbedaan
inilah yang berimplikasi pada perbedaan upah atau kompensasi yang diterima
setiap orang.
Artinya: “Kami telah menentukan antara
mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan
sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian
mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik
dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf [43]
: 32)
Dalam ayat
tersebut, tujuan Allah membuat perbedaan kemampuan serta derajat diantara
manusia selain untuk memberikan cobaan adalah agar manusia saling berinteraksi, saling bermuamalah dan saling
mempergunakan (mempekerjakan) satu dengan yang lainnya. Ada yang berperan
sebagai pekerja dan berperan sebagai pemberi kerja. oleh karena itulah Allah memerintahkan manusia agar ikhlas dan tidak iri terhadap ketetapannya.
Artinya: “dan janganlah kamu iri hati
terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain . . .” (QS. An-Nisaa [4] : 32)
Dari
uraian beberapa ayat diatas, maka dapat penulis tarik kesimpulan bahwa perbedaan
tingkat upah memang diakui dalam Islam akibat adanya
tingkat perbedaan kemampuan (sunnatullah). Artinya, sepanjang diferensiasi upah terjadi
karena penilaian objektivitas berdasarkan kemampuan dan kinerja para tenaga
kerja, maka hal tersebut masih dapat diakui. Kecuali perbedaan upah tersebut
dikarenakan penilaian subjektivitas serta adanya
unsur diskriminasi, maka hal tersebut tidak diakui dan merupakan bentuk
kezholiman kepada para tenaga kerja.
G. Reward Sharing
Bank Muamalat Indonesia
Pada bank muamalat, reward adalah
kompensasi yang deterima para karyawan muamalat baik berupa material atau
imaterial yang dikaitkan dengan business result mereka. Misalnya seberapa jauh
seorang karyawan mengembangkan dirinya, seberapa tinggi kapabilitasnya, dan
berapa banyak kontribusinya. Praktik di muamalat, para karyawan akan menerima
dua bentuk rewards. Pertama berupa bonus bagi hasil yang besarnya 10%
dari keuntungan perusahaan. Semakin besar keuntungan perusahaan, semakin besar
pula bagi hasil yang diberikan. Bonus ini bersifat kolektif dan dibagi rata
sebagai perekat team work.
Selain
bonus, para karyawan juga akan mendapatkan reward secara individual berdasarkan
kinerja dan prestasi masing-masing. Jadi, meskipun dalam satu unit, karena tiap
prestasi individu berbeda maka reward yang diberikan pun tidak sama. Dimana
penerimaan reward ini tergantung pada penilaian performance appraisal (PA). PA
ditentukan dari hasil penilaian secara keseluruhan dari unit masing-masing. Tentunya
rewards atau kompensasi ini berkaitan erat dengan kesejahteraan.
Pada
tahun 2003, bank muamalat berhasil menduduki peringkat ke-7 versi majalah
infobank dari lebih 140 bank yang dinilai. Artinya kesejahteraan karyawan
muamalat tergolong baik walaupun belum berada di puncak, tetapi juga tidak
berada di bawah. Gaji bulanan yang diterima karyawan tiap bulannya bersifat
layaknya pinjaman dimuka yang mereka terima, karena pendapatan sebenarnya
adalah pendapatan bagi hasil yang jauh lebih besar. Pada tahun 2002 contohnya,
para karyawan ada yang mendapatkan sampai dengan 7 kali gaji dari bonus diluar
13 kali gaji yang mereka terima tiap tahunnya. Untuk tahun
2003 bahkan jumlahnya melebihi tahun sebelumnya. Ini bisa terjadi karena
tingkat profit usaha meningkat, dan disaat bersamaan karyawan cenderung tetap
karena masing-masing cabang lebih suka melakukan seleksi dan rekrutmen pegawai
melalui outsourcing.
Rewards
diberikan kepada karyawan yang kinerjanya memuaskan dan yang paling
membutuhkan. Semua karyawan tentu membutuhkan kesejahteraan yang cukup, namun
faktanya mereka yang masuk dalam jajaran paling butuh adalah karyawan di lini
bawah. Oleh karena itu, pembobotan dalam
merit increase di bank muamalat cukup unik. Disebut demikian karena
meskipun PA sama-sama tinggi, tetapi tingkat reward yang diberikan bisa saja berbeda.
Sebagai contoh, seorang officer dengan PA bernilai A dan seorang
klerikel dengan PA yang sama, merit increase klerikel bisa jadi lebih tinggi.
Taruhlah seorang klerikel memperoleh 30-40% sementara yang diperoleh officer
masih dibawahnya. Merit increase dinilai berdasarkan tiga poin:
kinerjanya, tingkat gaji apakah masih dibawah gaji rata-rata ataukah sudah
diatas rata-rata jabatan itu, dan grading berdasarkan kebutuhannya.
Dapat dibilang cara ini memang akan lebih mendongkrak penerimaan karyawan
bawah, namun hal ini tentunya akan mendorong mereka untuk bekerja lebih
optimal, memiliki kebanggaan dalam bekerja dan yang lebih penting lagi adalah
diharapkan mereka dapat berlaku jujur dan tidak tergoda dengan perilaku yang
menyebabkan fraud dengan alasan pendapatan yang diterima rendah.
Secara umum, mekanisme pengupahan di bank
muamalat sudah cukup baik menerapkan sistem pengupahan islami, dimana reward yang
diberikan diatur seobjektif mungkin dan seadil mungkin dalam
pendistribusiannya. Selain itu, muamalat pun juga memperhatikan
karyawan-karyawan yang masih mendapatkan gaji dibawah rata-rata dengan cara
memprioritaskan mereka dalam pembobotan merit increase. Artinya,
muamalat berusaha memenuhi kebutuhan dasar karyawan beserta keluarganya selain
untuk menjaga agar gap atau jarak pendapatan antar karyawannya tidak terlalu
jauh.
H. Kesimpulan
Kompensasi atau upah yang layak bagi karyawan merupakan komponen penting
dalam keberlangsungan usaha sebuah perusahaan. Perusahaan yang baik akan
berusaha membuat sistem pengupahan yang adil sesuai dengan kinerja dan
mencukupi kebutuhan dasar para karyawannya. Dengan system manajemen pengupahan
yang baik, maka karyawan mendapatkan motivasi dan gairah dalam bekerja yang
akan mendorong produktivitasnya. Dengan produktivitas yang baik dari para
karyawannya, perusahaan akan mampu menciptakan daya saing yang tinggi dan
memiliki keunggulan kompetitif yang diperhitungkan oleh para competitor.
Islam memang mengakui adanya perbedaan upah yang merupakan konsekuensi
dari keberagaman yang Allah ciptakan pada manusia. Selain perbedaan kemampuan
manusia, perbedaan yang Allah ciptakan meliputi perbedaan lingkungan, perbedaan
budaya dan social, peraturan pemerintah dan perbedaan serta faktor lainnya yang
mengakibatkan terjadinya perbedaan tingkat upah. Hal ini merupakan hal yang
wajar selama perbedaan tingkat upah tidak disebabkan karena subjektivitas yang
cenderung mengandung unsur keadilan dan diskriminatif.
- Hendri Wijaya -
Bachelor of Islamic Economics from Faculty
of Sharia and Law (muamalat.fsh.uinjkt.ac.id)
Graduate Student of Master Program in
Sharia Management
Referensi
Al-Quran
dan terjemahan.
An-Nabhani, Payaman, Membangun Sistem
Ekonomi Alternatif Perspektif Ekonomi Islam, Surabaya, Risalah Gusti 1996.
Amin, Riawan, The Celestial Management
(Zikr, Pikr, Mikr). Senayan Abadi Publishing, Jakarta 2004 cet. I
Chaudry, Muhammad Syarif. Sistem Ekonomi
Islam: prinsip dasar, cet.I. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
DSN-MUI, Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Ijarah.
Hafidhuddin, Didin dan Hendri Tanjung, Sharia
Principle on Management in Practice, Gema Insani Press, Jakarta 2004.
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2012.
Nizar, Muhammad Afdi. Kamus Lengkap Ekonomi. Jakarta:
Citra Harta Prima, 2009.
Rais, Isnawati dan Hasanuddin. Fiqih
Muamalah dan Aplikasinya Pada LKS. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi
Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1997.
Rivai, Veitzal, Manajemen Sumber Daya
Manusia untuk Perusahaan dari Teori ke Praktik. PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta 2004.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah alih bahasa
oleh Kamaluddin Marjuki, Bandung, al-Ma'arif 1995, cet. Ke-7
Yanggo, Chuzaemah, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995 cet. ke-1.
Ya'qub Hamzah, Etos Kerja Islami Petunjuk
Pekerjaan yang Halal dan Haram dalam Syariat Islam, Jakarta Redaksi Sinar
Grafika 1997.
Zuhaili. Wahbah. Fiqh Islam Waadillatuhu. Penerjemah
Abdul Hayyie Al-kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar