Salam

Salam

Minggu, 19 April 2015

Kompensasi (Tinjauan Ekonomi Islam)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمةالله وبركاته

MANAJEMEN KOMPENSASI DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM


A.    Pendahuluan
Manusia adalah khalifah Allah dimuka bumi yang diberi kuasa oleh Allah untuk memakmurkan bumi-Nya. Dalam upaya manusia mengemban amanah-Nya sebagai khalifah di bumi ini, manusia diberikan akal pikiran oleh Allah sebagai penunjang tugasnya dalam memakmurkan bumi-Nya. Manusia dituntut untuk terus berpikir agar dapat memakmurkan bumi sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang Allah tetapkan agar pemakmuran bumi memberikan maslahah sebagai bagian yang terintegrasi dari salah satu konsep Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Allah memerintahkan manusia bekerja sebagai salah satu bentuk nyata manusia dalam rangka memakmurkan bumi seperti firman Allah dalam ayat berikut:
   

Artinya: dan Katakanlah “Bekerjalah kamu, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. At-Taubah [9] : 105)

Dengan bekerja, artinya manusia telah menjalankan salah satu fungsi ke-khalifahannya di muka bumi. Salah satu konsekuensi logis dari bekerja adalah manusia mendapatkan kompensasi dari hasil pekerjaannya. Kompensasi ini dapat berupa dimensi non-material seperti kepuasan batin, kebahagiaan, networking, dan hal lainnya yang merupakan urusan bathiniyah yang tak mampu diukur dan tak terlihat oleh kasat mata. Kemudian kompensasi yang tak kalah pentingnya adalah dimensi material finansial seperti gaji, bonus, keuntungan, insentif, pendapatan, tunjangan, deviden dan lain sebagainya.
Menurut teori ekonomi, upah diartikan sebagai pembayaran atas jasa-jasa fisik, pikiran ataupun mental yang diberikan oleh tenaga kerja kepada para pengusaha. Dengan demikian, dalam teori ekonomi tidak dibedakan antara pembayaran atas jasa-jasa pekeerja kasar dan tidak tetap dengan pekerja tetap. Upah dapat dikatakan pula sebagai imbal jasa atas prestasi kerja, namun pengertian tersebut tidak selalu dapat dipakai untuk seluruh kebutuhan karena ada beberapa kondisi yang tidak sesuai dengan hubungan tersebut.
Sistem pengupahan yang baik adalah sistem yang mampu menjamin kepuasan para anggota organisasi atau perusahaan (tenaga kerja atau karyawan) yang pada akhirnya suatu perusahaan tersebut akan mendapatkan hasil yang baik dari sikap dan perilaku positif karyawan. Karena karyawan merupakan salah satu faktor penentu terhadap tinggi rendahnya pertumbuhan perusahaan. Keberhasilan suatu perusahaan sangat ditentukan oleh tenaga kerja dalam mempersiapkan dirinya memberikan kemampuan terbaik yang dimilikinya sebagai sarana untuk tetap eksis dalam persaingan.
Kesejahteraan sosial bagi para karyawan merupakan segala unsur yang diterima karyawan baik berupa uang atau barang. Baik yang diberikan dengan langsung atau tidak langsung. Dan hal ini sangat penting sebagai salah satu pembentukan loyalitas karyawan kepada perusahaan, pembentukan kedisiplinan dan pembentukan moral seluruh karyawan. Urusan pengupahan atau penggajian memang sangat sensitif bagi para pekerja dan pemberi kerja (perusahaan). Para karyawan sebagai pekerja tentunya menginginkan upah yang layak sebagai bentuk kompensasi dari keahliannya dalam memberikan kontribusi positif kepada perusahaan.
Karyawan menuntut gaji yang mencukupi kebutuhannya dan keluarganya dalam bertahan hidup ditengah mahalnya harga-harga kebutuhan pokok dan kenaikan inflasi. Namun di sisi lain, perusahaan pun menginginkan efisiensi dalam merekrut dan membayar para pekerjanya. Kontradiksi inilah seringkali menimbulkan friksi antara para pekerja dan perusahaan. Oleh karena itu, pemberian upah yang adil dan proporsional sangat krusial dalam kehidupan perusahaan agar tercipta  hubungan yang saling menguntungkan  dan win win solution antara karyawan dan perusahaan.
Dalam Islam, pembahasan sekaligus praktik hubungan antara kinerja dengan upah sudah dijelaskan dalam Al-Quran, salah satunya yang terdapat dalam ayat berikut ini:
   
Artinya: “berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun Maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, Maka aku tidak hendak memberati kamu. dan kamu insya Allah akan mendapatiku Termasuk orang- orang yang baik." Dia (Musa) berkata: "Itulah (perjanjian) antara aku dan kamu. mana saja dari kedua waktu yang ditentukan itu aku sempurnakan, Maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi). dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.” (QS. Al-Qashash [28] : 27-28)
Pada ayat tersebut Allah jelaskan kepada kita salah satu bentuk hubungan antara kinerja dan upah. Contoh  yang Allah berikan adalah kisah antara Nabi Syuaib ‘Alaihissalam dengan Nabi Musa ‘Alaihissalam. Contoh tersebut menjelaskan bahwa Nabi Syuaib ‘Alaihissalam bertindak sebagai pemberi kerja yang mempekerjakan Nabi Musa ‘Alaihissalam dimana kompensasi atau imbalan dari pekerjaan tersebut adalah Nabi Musa ‘Alaihissalam dinikahkan dengan salah satu anak perempuan Nabi Syuaib ‘Alaihissalam.
Semenjak diutusnya Rasulullah kepada seluruh manusia, konsep-konsep dan praktik pengupahan dalam Islam semakin mengalami perkembangan yang pesat. Aturan-aturan pengupahan semakin nyata dan prinsip-prinsip pengupahan semakin memberikan keadilan serta semakin memanusiawikan para pekerja tanpa mengabaikan para pemberi kerja pula. Pada tulisan ini InsyaAllah akan dibahas mengenai kompensasi atau upah dalam perspektif ekonomi syariah, dimana tulisan ini akan mencakup prinsip-prinsip pengupahan Islami yang di takhrij berdasarkan Al-Quran dan hadist.

B.     Pengertian dan Tujuan Kompensasi
     Secara bahasa, kompensasi berasal dari kata serapan berbahasa inggris yaitu compensation yang berarti imbalan atau bayaran. Sedangkan kompensasi menurut undang-undang negara Republik Indonesia adalah hak pekerja atau buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan meliputi tunjangan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya atas jasa dan pekerjaan yang telah dilakukan. Dari pengertian diatas maka dapat kita lihat beberapa tujuan dari manajemen kompensasi adalah:
      1.      Mendapatkan SDM yang berkualitas dan profesional
Kompensasi yang cukup tinggi akan menarik bagi para pencari kerja. Tingkat pengupahan harus responsif terhadap penawaran dan permintaan pasar kerja karena semua perusahaan berkompetisi untuk mendapatkan karyawan yang berkualitas.
      2.      Mempertahankan karyawan
Para karyawan akan cenderung mudah keluar dari perusahaan apabila besaran kompensasi yang diterimanya tidak kompetitif dan tidak mencukupi kebutuhannya. Akibatnya akan menimbulkan perputaran karyawan yang tinggi dan berdampak pada inefisiensi perusahaan.
      3.      Menjamin keadilan
Manajemen kompensasi selalu berupaya agar keadilan internal dan eksternal dapat terwujud. Keadilan internal masyarakat bahwa pembayaran gaji dikaitkan dengan nilai relatif sebuah pekerjaan yang sama dibayar dengan besaran gaji yang sama. Sedangkan keadilan eksternal berarti pembayaran terhadap pekerja merupakan yang dapat dibandingkan dengan perusahaan lain di pasar kerja.
      4.      Penghargaan terhadap perilaku yang diinginkan
Pembayaran upah hendaknya memperkuat perilaku yang diinginkan dan bertindak sebagai insentif untuk perbaikan perilaku di masa depan mengenai kinerja, pengalaman, tanggung jawab dan perilaku lainnya.
      5.      Mengendalikan biaya
Sistem kompensasi yang baik akan membantu perusahaan memperoleh dan mempertahankan sejumlah karyawan dengan biaya yang logis. Tanpa manajemen kompensasi yang efektif, bisa jadi pekerja d bayar dibawah atau diatas standar.
      6.      Mengikuti aturan hukum
Sistem pengupahan yang baik juga mempertimbangkan faktor-faktor legal yang dikeluarkan pemerintah dan menjamin kebutuhan karyawannya.

C.    Definisi Upah Dalam Perspektif Islam
Dalam perspektif Islam, upah termasuk ke dalam domain fiqh muamalat, yakni dalam pembahasan tentang ijaroh. Menurut bahasa, ujroh berarti upah. Oleh karena itu, lafaz ujroh memiliki pengertian umum yang meliputi upah atas pemanfaatan suatu benda atau imbalan dari suatu kegiatan. Kitab-kitab fiqh muamalat kontemporer saat ini  banyak yang menerjemahkan kata ujroh dengan sewa menyewa, maka hal tersebut jangan lantas diartikan dengan menyewa suatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus pula dipahami dalam arti yang lebih komprehensif.
Pendapat lain mengemukakan bahwa ujroh berasal dari kata al-ajru yang berarti ‘iwadh (ganti). Dengan sendirinya, lafaz al-tsawab (pahala) dapat juga dikatakan dengan upah, karena al-tsawab (pahala) merupakan imbalan atas suatu pekerjaan baik. Ujroh atau upah diartikan sebagai imbalan atas jasa seorang ajir (orang yang dikontrak jasanya) oleh mustajir (orang yang membayar jasanya). Ijaroh merupakan transaksi terhadap jasa tertentu disertai dengan kompensasi. Kompensasi inilah yang kemudian disebut ujroh. Kata ajrun ini dapat kita temui dalam ayat berikut:

Artinya: “Maka jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath-Tholaq [65] : 6)
Adapun mengenai bentuk upah, tidak selalu harus berbentuk uang. Tetapi makanan, pakaian dan sejenisnya dapat pula dijadikan sebagai upah. Seorang ajir boleh dikontrak jasanya dengan suatu kompensasi atau upah berupa makanan dan pakaian. Dalam arti yang lebih luas, ijaroh atau upah bermakna akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan cara memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Sayyid sabiq memberikan definisi mengenai ijaroh sebagai suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan cara penggantian.
Oleh karena itu, menyewakan pohon untuk diambil buahnya tidaklah sah. Karena pohon bukan sebagai manfaat. Demikian juga menyewakan dua jenis mata uang (emas dan perak), makanan untuk dimakan, barang yang dapat ditukar dan ditimbang karena jenis barang-barang ini tidak dapat dimanfaatkan kecuali dengan cara menggunakan barang itu sendiri (habis dzatnya). Karena ujroh adalah kepemilikan manfaat, maka akad menghendaki pengambilan manfaatnya saja dan bukan menghabiskan barang itu sendiri.

D.    Landasan Hukum Upah Dalam Islam
Upah adalah tranasksi yang lazim dilakukan di masyarakat dari berbagai status dan strata sosial. Tentu saja hukum dari upah adalah mubah (boleh) karena upah termasuk kedalam domain muamalah dimana hukum asal dari setiap muamalah adalah boleh, kecuali terdapat dalil yang mengharamkannya. Mengingat banyaknya ayat Al-Quran dan hadist yang dijadikan argumentasi ulama, maka status kemubahannya menjadi semakin kuat. Landasan Al-Quran yang dikemukakan adalah sebagai berikut:
   

Artinya: “Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu (bisa) mengambil upah untuk itu.” (QS. Al-Kahfi [18] : 77)


Artinya: “. . . Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut . . .”
(QS. Al-Baqoroh [2] : 233)
   

Artinya: “salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (QS. Al-Qashash [28] : 26)

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قال : مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا إِلاَّ رَعَى الْغَنَمُ. فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَ أَنْتَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا، قَالَ قَرَارِيْطُ لِأَهْلِ مَكَّةَ.
(رواه البخاري)
Artinya: Dari Abu Hurairah dari Rasulullah, beliau bersabda “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi kecuali ia pernah bekerja sebagai pengembala kambing.” kemudian salah seorang sahabat bertanya: “begitu jugakah dengan Anda ya Rasulullah” maka Rasulullah menjawab: “Ya, aku pernah mengembala kambing milik penduduk Mekkah dengan upah beberapa qirath” (HR. Bukhari)
Dasar dan landasan hukum dari segala kegiatan, akad dan transaksi dalam ekonomi Islam adalah Al-Quran dan sunnah. Dua sumber utama tersebut harus dirujuk terlebih dahulu dibandingkan sumber hukum lainnya dalam Islam seperti ijtihad. Masih banyak ayat Al-Quran dan hadist yang berkaitan dengan persoalan pengupahan, namun penulis hanya mengambil beberapa ayat saja dimana ayat-ayat tersebut cukup familiar dan sudah banyak dijadikan rujukan oleh para ulama dunia dalam membolehkan ijaroh.

E.     Prinsip-prinsip Upah Dalam Islam
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan menjadi dasar dalam Islam untuk menentukan upah bagi tenaga kerja. Diantaranya adalah:
      1)      Kesepakatan dan kerelaan antara ajir dan mustajir
Dalam segala jenis akad dan transaksi bisnis, terciptanya unsur rela sama rela antara pihak-pihak didalamnya sangat dikedepankan. Islam melarang adanya unsur paksaan yang dapat merugikan salah satu pihak dimana hal tersebut akan mengakibatkan seseorang masuk kedalam memakan harta sesamanya dengan cara yang bathil. Sebagaimana yang Allah jelaskan dalam firman-Nya berikut:


Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu . . .” (QS. An-Nisaa [4] : 29)

      2)      Mencukupi kebutuhan dasar
Upah yang baik haruslah mencukupi kebutuhan dasar para karyawan. Setidaknya, dengan terpenuhi kebetuhan dasar, para karyawan akan merasa diperhatikan oleh perusahaan sehingga tercipta hubungan emosional yang kuat antara karyawan dan perusahaan dan menciptakan loyalitas karyawan terhadap perusahaan. Terpenuhinya kebutuhan dasar ini berdasarkan sabda Rasulullah:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قال: لِلْمَمْلُوْكِ طَعَامُهُ
وَكِسْوَتُهُ وَلَا يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا يُطِيْقُ (رواه المسلم)
Artinya: “Seorang budak itu berhak mendapatkan pangan dan sandang (dari tuannya) dan janganlah dia dibebani atas suatu pekerjaan melainkan sesuai dengan kemampuannya.”
(HR. Muslim)

      3)      Proporsional dan transparan
kompensasi atau upah adalah konsekuensi dari kinerja seseorang. Maka dengan demikian salah satu tolak ukur penentuan upah yang proporsional adalah yang sesuai dengan job desc yang melekat pada tiap-tiap pekerjaan. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam Al-Quran pada ayat berikut:
  
Artinya: “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm [53] : 39)
Pada ayat yang lain Allah juga berfirman mengenai keadilan dalam pemberian kompensasi dalam ayat berikut:

Artinya: “dan bagi masing-masing mereka derajat menurut apa yang telah mereka kerjakan dan agar Allah mencukupkan bagi mereka (balasan) pekerjaan-pekerjaan mereka sedang mereka tiada dirugikan.” (QS. Al-Ahqaf [46] : 19)

       Kemudian setelah itu, pada awal akad atau kontrak pekerjaan, perusahaan seharusnya menjabarkan dan menginformasikan dengan sejelas-jelasnya tugas dan tanggung  jawab yang akan di amanahkan kepada calon karyawan. Sehingga karyawan dapat menilai apakah upah yang akan diterimanya sudah sesuai dengan pekerjaan yang akan dipikulnya nanti. Dengan adanya transparansi ini karyawan akan mengetahui tugas-tugas pokok yang harus ia selesaikan, target yang harus dicapai dan strategi apa saja yang akan ia gunakan untuk mencapai target tersebut. Hal ini disebut itqon (tepat, terarah dan tuntas) sebagaimana sabda Rasulullah berikut:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمُ الْعَمَلَ أَنْ يُتْقِنَهُ (رواه الطبراني)
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai salah seorang diantara kalian yang apabila ia mengerjakan suatu pekerjaan, ia kerjakan dengan itqon (jelas, terarah dan tuntas)” (HR. Thabrani)
      
      4)      Partnership relationship
dalam Islam hubungan antara perusahaan dengan karyawan, majikan dengan pembantu, atasan dengan bawahan adalah hubungan partnersip. Dimana keduanya saling melengkapi, dengan hubungan ini maka tidak ada majikan atau atasan yang merasa superior ketika berpapasan dengan bawahannya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah berikut:
هُمْ إِخْوَانُكُمْ جَعَلَهُمُ اللهُ تَحْتَ أَيْدِيْكُمْ فَأَطْعِمُوْهُمْ مِمَّا تَأْكُلُوْنَ وَ أَلْبِسُوْهُمْ مِمَّا تَلْبَسُوْنَ وَلَا تُكَلِّفُوْهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَإِنْ كَلَّفْتُمُوْهُمْ فَأَعِيْنُوْهُمْ (رواه المسلم)
Artinya: “mereka adalah saudara-saudaramu yang dijadikan Allah tunduk dibawah kekuasaanmu. Oleh karena itu berilah mereka makan sebagaimana yang kamu makan, berilah mereka pakaian sebagaimana yang kamu pakai, dan janganlah kamu membebani mereka di luar kemampuannya. Jika kamu memberikan beban kepada mereka maka bantulah mereka.” (HR. Muslim)
      
      5)      Tidak menunda hak karyawan
Termasuk hal yang zhalim adalah menunda-nunda pemenuhan hak karyawan dengan cara menahan atau menunda-nunda upahnya tanpa alasan yang nyata dan dibenarkan. Penundaan pembayaran  Rasulullah menganjurkan pemberian upah sesegera mungkin karena upah merupakan hak pegawai yang harus segera dipenuhi. Sebagaimana sabda Rasulullah berikut ini:
أَعْطُوْا الْأَجِيْرَ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ (رواه إبن ماجه، وصححه الباني)
Artinya: “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya mengering.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Al-Albani)

      6)      Tidak mengeksploitasi tenaga kerja
Para karyawan atau pekerja tidak diperlakukan sebagaimana mesin yang terus menerus dipicu tenaganya demi mengejar target produksi. Hal tersebut jika dilakukan merupakan termasuk bentuk eksploitasi kakryawan. Akan tetapi, perusahaan haruslah memperlakukan karyawan secara manusiawi. Harus memperhatikan keseimbangan waktu dan tenaganya untuk bekerja dan bersama keluarga.
مَا خَفَّفْتَ عَنْ خَادِمِكَ مِنْ عَمَلِهِ كَانَ لَكَ أَجْرًا فِيْ مَوَازِيْنِكَ (رواه إبن حبان)
Artinya: “keringanan yang kamu berikan kepada budakmu maka itu menjadi pahala timbangan amalmu.” (HR. Ibnu Hibban)
   
    Itulah sedikitnya menurut penulis ke-enam prinsip pemberian upah dalam Islam. Diharapkan dengan diterapkan sedikitnya enam prinsip diatas, akan terjadi kesinergisan antara pemberi kerja atau perusahaan atau pengusaha dengan para tenaga kerja. Sehingga para tenaga kerja mendapatkan kompensasi yang layak dan adil atas usahanya, dan di sisi lain perusahaan pun diuntungkan dengan produktivitas para tenaga kerjanya.

F.     Perbedaan Tingkat Upah Dalam Islam
Pada pembahasan ini perlu dianalisa apakah perbedaan tingkat upah ini diakui dalam Islam atau tidak. Dalam kehidupan memang banyak sekali kita temui perbedaan tingkat upah. Terdapat berbagai faktor utama yang melatarbelakangi terjadinya perbedaan upah tersebut salah satunya adalah faktor perbedaan kemampuan, pendidikan dan tanggung jawab dari tenaga kerja. Perbedaan ini termasuk dari salah satu sunnatullah yang Allah terangkan dalam beberapa ayat berikut ini:

Artinya: “dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-An’am [6] : 165).

Dalam ayat tersebut, jelas terlihat bahwa Allah lah yang telah menciptakan diferensiasi atas makhluknya (manusia). Diferensiasi atau perbedaan-perbeaan ini meliputi perbedaan pendidikan, keterampilan, kemampuan dan lain sebagainya. Perbedaan inilah yang berimplikasi pada perbedaan upah atau kompensasi yang diterima setiap orang.
  

Artinya: “Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf [43] : 32)
Dalam ayat tersebut, tujuan Allah membuat perbedaan kemampuan serta derajat diantara manusia selain untuk memberikan cobaan adalah agar manusia saling berinteraksi, saling bermuamalah dan saling mempergunakan (mempekerjakan) satu dengan yang lainnya. Ada yang berperan sebagai pekerja dan berperan sebagai pemberi kerja. oleh karena itulah Allah memerintahkan manusia agar ikhlas dan tidak iri terhadap ketetapannya.

Artinya: “dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain . . .” (QS. An-Nisaa [4] : 32)

Dari uraian beberapa ayat diatas, maka dapat penulis tarik kesimpulan bahwa  perbedaan tingkat upah memang diakui dalam Islam akibat adanya tingkat perbedaan kemampuan (sunnatullah). Artinya, sepanjang diferensiasi upah terjadi karena penilaian objektivitas berdasarkan kemampuan dan kinerja para tenaga kerja, maka hal tersebut masih dapat diakui. Kecuali perbedaan upah tersebut dikarenakan penilaian subjektivitas serta adanya unsur diskriminasi, maka hal tersebut tidak diakui dan merupakan bentuk kezholiman kepada para tenaga kerja.
  
G.    Reward Sharing Bank Muamalat Indonesia
Pada bank muamalat, reward adalah kompensasi yang deterima para karyawan muamalat baik berupa material atau imaterial yang dikaitkan dengan business result mereka. Misalnya seberapa jauh seorang karyawan mengembangkan dirinya, seberapa tinggi kapabilitasnya, dan berapa banyak kontribusinya. Praktik di muamalat, para karyawan akan menerima dua bentuk rewards. Pertama berupa bonus bagi hasil yang besarnya 10% dari keuntungan perusahaan. Semakin besar keuntungan perusahaan, semakin besar pula bagi hasil yang diberikan. Bonus ini bersifat kolektif dan dibagi rata sebagai perekat team work.
Selain bonus, para karyawan juga akan mendapatkan reward secara individual berdasarkan kinerja dan prestasi masing-masing. Jadi, meskipun dalam satu unit, karena tiap prestasi individu berbeda maka reward yang diberikan pun tidak sama. Dimana penerimaan reward ini tergantung pada penilaian performance appraisal (PA). PA ditentukan dari hasil penilaian secara keseluruhan dari unit masing-masing. Tentunya rewards atau kompensasi ini berkaitan erat dengan kesejahteraan.
Pada tahun 2003, bank muamalat berhasil menduduki peringkat ke-7 versi majalah infobank dari lebih 140 bank yang dinilai. Artinya kesejahteraan karyawan muamalat tergolong baik walaupun belum berada di puncak, tetapi juga tidak berada di bawah. Gaji bulanan yang diterima karyawan tiap bulannya bersifat layaknya pinjaman dimuka yang mereka terima, karena pendapatan sebenarnya adalah pendapatan bagi hasil yang jauh lebih besar. Pada tahun 2002 contohnya, para karyawan ada yang mendapatkan sampai dengan 7 kali gaji dari bonus diluar 13 kali gaji yang mereka terima tiap tahunnya. Untuk tahun 2003 bahkan jumlahnya melebihi tahun sebelumnya. Ini bisa terjadi karena tingkat profit usaha meningkat, dan disaat bersamaan karyawan cenderung tetap karena masing-masing cabang lebih suka melakukan seleksi dan rekrutmen pegawai melalui outsourcing.
Rewards diberikan kepada karyawan yang kinerjanya memuaskan dan yang paling membutuhkan. Semua karyawan tentu membutuhkan kesejahteraan yang cukup, namun faktanya mereka yang masuk dalam jajaran paling butuh adalah karyawan di lini bawah.  Oleh karena itu, pembobotan dalam merit increase di bank muamalat cukup unik. Disebut demikian karena meskipun PA sama-sama tinggi, tetapi tingkat reward yang diberikan bisa saja berbeda. Sebagai contoh, seorang officer dengan PA bernilai A dan seorang klerikel dengan PA yang sama, merit increase klerikel bisa jadi lebih tinggi. Taruhlah seorang klerikel memperoleh 30-40% sementara yang diperoleh officer masih dibawahnya. Merit increase dinilai berdasarkan tiga poin: kinerjanya, tingkat gaji apakah masih dibawah gaji rata-rata ataukah sudah diatas rata-rata jabatan itu, dan grading berdasarkan kebutuhannya. Dapat dibilang cara ini memang akan lebih mendongkrak penerimaan karyawan bawah, namun hal ini tentunya akan mendorong mereka untuk bekerja lebih optimal, memiliki kebanggaan dalam bekerja dan yang lebih penting lagi adalah diharapkan mereka dapat berlaku jujur dan tidak tergoda dengan perilaku yang menyebabkan fraud dengan alasan pendapatan yang diterima rendah.
Secara umum, mekanisme pengupahan di bank muamalat sudah cukup baik menerapkan sistem pengupahan islami, dimana reward yang diberikan diatur seobjektif mungkin dan seadil mungkin dalam pendistribusiannya. Selain itu, muamalat pun juga memperhatikan karyawan-karyawan yang masih mendapatkan gaji dibawah rata-rata dengan cara memprioritaskan mereka dalam pembobotan merit increase. Artinya, muamalat berusaha memenuhi kebutuhan dasar karyawan beserta keluarganya selain untuk menjaga agar gap atau jarak pendapatan antar karyawannya tidak terlalu jauh.

H.    Kesimpulan
Kompensasi atau upah yang layak bagi karyawan merupakan komponen penting dalam keberlangsungan usaha sebuah perusahaan. Perusahaan yang baik akan berusaha membuat sistem pengupahan yang adil sesuai dengan kinerja dan mencukupi kebutuhan dasar para karyawannya. Dengan system manajemen pengupahan yang baik, maka karyawan mendapatkan motivasi dan gairah dalam bekerja yang akan mendorong produktivitasnya. Dengan produktivitas yang baik dari para karyawannya, perusahaan akan mampu menciptakan daya saing yang tinggi dan memiliki keunggulan kompetitif yang diperhitungkan oleh para competitor.
Islam memang mengakui adanya perbedaan upah yang merupakan konsekuensi dari keberagaman yang Allah ciptakan pada manusia. Selain perbedaan kemampuan manusia, perbedaan yang Allah ciptakan meliputi perbedaan lingkungan, perbedaan budaya dan social, peraturan pemerintah dan perbedaan serta faktor lainnya yang mengakibatkan terjadinya perbedaan tingkat upah. Hal ini merupakan hal yang wajar selama perbedaan tingkat upah tidak disebabkan karena subjektivitas yang cenderung mengandung unsur keadilan dan diskriminatif.

- Hendri Wijaya -
Bachelor of Islamic Economics from Faculty of Sharia and Law (muamalat.fsh.uinjkt.ac.id)
Syarif Hidayatullah State Islamic University of Jakarta (www.uinjkt.ac.id)
Graduate Student of Master Program in Sharia Management
Graduate School of Management and Business (www.mb.ipb.ac.id)
Bogor Agricultural University (www.ipb.ac.id)

Referensi

Al-Quran dan terjemahan.
An-Nabhani, Payaman, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Ekonomi Islam, Surabaya, Risalah Gusti 1996.
Amin, Riawan, The Celestial Management (Zikr, Pikr, Mikr). Senayan Abadi Publishing, Jakarta 2004 cet. I
Chaudry, Muhammad Syarif. Sistem Ekonomi Islam: prinsip dasar, cet.I. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
DSN-MUI, Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Ijarah.
Hafidhuddin, Didin dan Hendri Tanjung, Sharia Principle on Management in Practice, Gema Insani Press, Jakarta 2004.
Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Nizar, Muhammad Afdi. Kamus Lengkap Ekonomi. Jakarta: Citra Harta Prima, 2009.
Rais, Isnawati dan Hasanuddin. Fiqih Muamalah dan Aplikasinya Pada LKS. Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta, Gema Insani Press, 1997.
Rivai, Veitzal, Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan dari Teori ke Praktik. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah alih bahasa oleh Kamaluddin Marjuki, Bandung, al-Ma'arif 1995, cet. Ke-7
Yanggo, Chuzaemah, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995 cet. ke-1.
Ya'qub Hamzah, Etos Kerja Islami Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram dalam Syariat Islam, Jakarta Redaksi Sinar Grafika 1997.
      Zuhaili. Wahbah. Fiqh Islam Waadillatuhu. Penerjemah Abdul Hayyie Al-kattani, dkk. Jakarta:           Gema Insani, 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar